
Ilustrasi - Studi Ungkap Otak Bisa Mudah Percaya Kebohongan Jika Ada Keuntungan (Foto: Pexels/Tara Winstead)
Jakarta, Jurnas.com - Penelitian baru mengungkap bagaimana otak manusia merespons kebohongan dalam hitungan detik. Uniknya, keputusan untuk percaya atau tidak ternyata dipengaruhi oleh kedekatan hubungan dan situasi yang menguntungkan.
Studi yang dipimpin oleh Yingjie Liu dari North China University of Science and Technology ini menggunakan metode hyperscanning. Dengan alat ini, aktivitas otak dua orang bisa dipantau secara bersamaan saat mereka saling bertukar informasi.
Sebanyak 66 pasangan dewasa terlibat dalam eksperimen yang dirancang menyerupai percakapan nyata. Mereka duduk berhadapan dan berkomunikasi lewat komputer, sementara otaknya direkam secara real-time.
Studi Tunjukkan Insomnia Kronis Bisa Mempercepat Penuaan Otak dan Tingkatkan Risiko Demensia
Peneliti ingin tahu bagaimana konteks—apakah pesan itu berpotensi menguntungkan atau merugikan—dan hubungan personal—apakah dari teman atau orang asing—mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk mempercayai pernyataan tertentu.
Hasilnya menunjukkan bahwa otak lebih mudah menerima kebohongan dalam konteks keuntungan bersama, apalagi jika pesan itu datang dari seorang teman. Sebaliknya, dalam konteks kerugian, kewaspadaan otak justru meningkat.
Proses ini melibatkan sinkronisasi antar otak yang disebut interpersonal neural synchrony. Ketika dua orang terhubung secara emosional atau memiliki tujuan yang sama, aktivitas otak mereka cenderung lebih selaras.
Sinkronisasi itu terdeteksi pada tiga area penting: dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC), orbitofrontal cortex (OFC), dan frontal pole. Masing-masing berperan dalam menimbang risiko, menilai imbalan, dan memahami niat orang lain.
Dalam skenario kerugian, aktivitas DLPFC lebih dominan karena otak cenderung lebih hati-hati. Sementara dalam skenario keuntungan, OFC lebih aktif karena fokus pada potensi hasil yang positif.
Khusus pada pasangan yang sudah saling mengenal, sinkronisasi otak jauh lebih kuat dibandingkan dengan pasangan asing. Kedekatan ini ternyata bisa mengurangi mekanisme pertahanan alami terhadap informasi menyesatkan.
Artinya, otak kita cenderung menurunkan tingkat kecurigaan ketika informasi datang dari wajah yang sudah dipercaya, terutama jika informasinya terdengar menguntungkan. Efek ini membuat kebohongan dari teman justru lebih mudah dipercaya, meskipun tanpa niat jahat.
Lebih dari itu, model analisis dalam penelitian ini bisa memprediksi kemungkinan seseorang akan tertipu dari awal interaksi. Prediksi itu muncul bahkan sebelum keputusan final dibuat secara sadar.
Temuan ini sejalan dengan teori sebelumnya bahwa kebohongan tidak selalu melalui proses pertimbangan panjang. Justru, respons cepat otak terhadap sinyal sosial dan emosional bisa menentukan hasil akhirnya.
Meski demikian, penelitian ini tidak menyimpulkan bahwa teman lebih sering berbohong. Sebaliknya, ini adalah pengingat bahwa rasa percaya dan harapan akan keuntungan bisa mengganggu akurasi penilaian.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hal ini dapat berdampak besar pada komunikasi, baik secara personal maupun profesional. Di dunia digital, misalnya, sinyal keakraban dan janji keuntungan sering dimanfaatkan dalam penipuan.
Karena itu, memahami bagaimana otak memproses kebohongan bisa membantu merancang sistem yang lebih aman. Termasuk dalam bidang keuangan, kesehatan, hingga media sosial.
Ke depan, para peneliti mendorong pengujian lebih lanjut di situasi yang lebih alami, di luar laboratorium. Tujuannya adalah melihat apakah pola ini tetap berlaku dalam percakapan biasa dan antar budaya yang berbeda.
Selain itu, mereka ingin menguji apakah intervensi sederhana bisa membantu menyeimbangkan penilaian dalam situasi yang menggoda. Misalnya, dengan memberikan jeda sebelum keputusan dibuat atau menyisipkan pertanyaan reflektif. (*)
Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal ilmiah JNeurosci. Sumber: Earth
KEYWORD :Otak Deteksi kebohongan Keuntungan Respons otak