
Ilusrasi - Mindfulness atau meditasi (Foto: Pexels/Mikhail Nilov)
Jakarta, Jurnas.com - Selama satu dekade terakhir, meditasi dan mindfulness dipopulerkan sebagai teknik sederhana yang bisa dilakukan sendiri di rumah tanpa biaya. Keduanya dipromosikan sebagai cara efektif untuk mengelola stres, meningkatkan konsentrasi, dan memperbaiki kualitas hidup.
Namun, di balik itu, Menurut Miguel Farias, Associate Professor di bidang Psikologi Eksperimental dari Coventry University, praktik ini ternyata memiliki sisi gelap yang jarang diangkat dalam diskusi publik. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa efek samping dari meditasi bukan hanya nyata, tetapi juga cukup umum terjadi.
Mindfulness berasal dari tradisi meditasi Buddhis yang berfokus pada kesadaran terhadap pikiran, perasaan, dan sensasi tubuh di saat ini. Dikutip dari laman Science Alert, praktik ini telah dipraktikkan selama lebih dari 1.500 tahun, dengan catatan awal ditemukan dalam teks kuno India berjudul Dharmatrāta Meditation Scripture.
Menariknya, teks kuno tersebut tidak hanya mengajarkan teknik meditasi, tetapi juga mencatat gejala-gejala gangguan mental seperti depresi, kecemasan, hingga fenomena psikologis seperti depersonalisasi dan disosiasi. Ini menunjukkan bahwa risiko dari praktik tersebut sebenarnya sudah dikenali sejak lama.
Seiring meningkatnya popularitas mindfulness di Barat, penelitian ilmiah mulai mengevaluasi dampaknya secara lebih kritis. Dalam delapan tahun terakhir, sejumlah studi menemukan bahwa meditasi dapat memicu efek psikologis serius pada sebagian praktisinya.
Rumahnya Dipenuhi Kotoran Anjing, Penggemar Cemas Kesehatan Mental Britney Spears Terganggu
Miguel Farias, menjadi salah satu peneliti yang sejak lama mengingatkan soal risiko ini. Dalam bukunya The Buddha Pill: Can Meditation Change You?, ia menyoroti bahwa manfaat meditasi sering dibesar-besarkan sementara dampaknya diabaikan.
Menurut Farias, banyak guru meditasi tidak menyadari adanya efek samping, dan cenderung menyalahkan peserta ketika terjadi gangguan. Ia menyebut ini sebagai masalah etis yang mendasar dalam praktik mindfulness modern.
Farias juga mengkritisi pendekatan media dan industri aplikasi meditasi yang hanya menonjolkan sisi positif. Padahal, ketika praktik ini digunakan dalam konteks klinis atau pendidikan, publik berhak tahu tentang potensi risikonya.
Salah satu temuan yang luput dari sorotan media adalah studi besar yang didanai oleh Wellcome Trust dengan dana lebih dari 8 juta dolar. Penelitian ini melibatkan lebih dari 8.000 anak di Inggris dan menunjukkan bahwa mindfulness tidak memberi dampak signifikan terhadap kesejahteraan mental.
Bahkan, bagi anak-anak dengan kerentanan psikologis, hasilnya justru cenderung negatif. Ini menambah daftar alasan mengapa mindfulness tidak boleh diperlakukan sebagai solusi universal.
Sayangnya, hingga kini belum ada panduan yang jelas tentang bagaimana meditasi bisa dilakukan dengan aman. Ilmu psikologi modern pun masih belum sepenuhnya memahami kondisi kesadaran ekstrem yang bisa muncul akibat praktik mendalam.
Meski beberapa inisiatif telah hadir, seperti layanan klinis khusus di AS bagi korban efek samping meditasi, informasi publik masih sangat minim. Farias menilai, transparansi menjadi langkah awal paling penting sebelum praktik ini digunakan secara luas.
Jika mindfulness ingin terus diposisikan sebagai alat peningkatan kesejahteraan, maka penyampaiannya harus jujur. Masyarakat perlu tahu bahwa meditasi bukan sekadar “obat alami”, melainkan alat yang juga punya risiko. (*)
Sumber: Science Alert
KEYWORD :
Efek samping Mindfulness Meditasi Kesehatan Mental