Selasa, 16/09/2025 17:45 WIB

Indonesia Negara Paling Rajin Berdoa, Refleksi Religius atau Gejala Sosial?

Apa yang sebenarnya memotivasi tingginya intensitas doa di Indonesia? Apakah frekuensi doa tinggi selalu mencerminkan kedalaman iman? Atau justru menjadi cermin keputusasaan kolektif dalam menghadapi realitas yang keras?

Ilustrasi berdoa (Foto: Pexels/Thridman)

Jakarta, Jurnas.com - Di tengah dinamika sosial-politik di dunia yang semakin kompleks, Indonesia justru mencatatkan pencapaian spiritual yang mengesankan. Berdasarkan survei Pew Research Center 2024, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling rajin berdoa di dunia, dengan lebih dari 95% penduduknya berdoa setiap hari. Angka ini merepresentasikan sekitar 269 juta jiwa, atau hampir menyentuh total populasi.

Angka ini menempatkan Indonesia di posisi teratas dalam survei global, data yang digunakan sekitar 35 negara dan mewakili sekitar 50 persen populasi dunia. Bahkan, dalam hal pentingnya agama dalam kehidupan, 98 persen orang dewasa di Indonesia mengaku bahwa agama adalah sesuatu yang sangat penting.

Fenomena ini membuka ruang refleksi. Apa yang sebenarnya memotivasi tingginya intensitas doa di Indonesia? Apakah frekuensi doa tinggi selalu mencerminkan kedalaman iman? Atau justru menjadi cermin gejala sosial, keputusasaan kolektif dalam menghadapi realitas yang keras?

Sementara itu, dikutip dari laman Kemenag, dalam berbagai studi psikologi agama, doa kerap menjadi pelarian saat individu menghadapi ketidakpastian, kegagalan, atau situasi sulit. Artinya, semakin berat tekanan hidup, semakin besar pula dorongan untuk mencari penghiburan spiritual, termasuk berdoa.

Fenomena ini sejalan dengan temuan Pew yang menunjukkan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah memiliki tingkat doa harian yang jauh lebih tinggi dibanding negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara maju lainnya. Maka, bukan tidak mungkin bahwa kebiasaan berdoa di Indonesia juga dipengaruhi oleh realitas sosial yang kompleks dan penuh tekanan, demikian dikutip Kemenag.

Namun, begitu juga, kita tidak bisa serta-merta menyimpulkan bahwa doa hanya lahir dari putus asa. Dalam tradisi keagamaan, doa juga merupakan bentuk tertinggi dari penghambaan dan kesadaran akan keterbatasan manusia.

Berdoa bukan semata meminta, melainkan mengakui bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari diri kita. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku” (QS Al-Baqarah: 186).

Di ayat itu, setidaknya menggambarkan bahwa tidak ada jarak antara manusia dan Tuhannya. Yang ada hanya kedekatan, keintiman, dan keyakinan bahwa setiap doa tak akan sia-sia.

Bagi para sufi, doa bahkan bukan lagi tentang keinginan. Bagi mereka, doa adalah jalan untuk meleburkan ego dan mendekat sejauh-jauhnya kepada Yang Maha Suci.

Jika pun ada harapan dalam doa mereka, itu bukan harta, jabatan, atau kemenangan. Yang mereka minta hanyalah cinta-Nya dan kedekatan yang tak terputus. Tetapi bagi banyak orang awam, doa sering kali menjadi daftar keinginan yang panjang. Tak jarang doa berubah menjadi semacam "formulir permohonan" yang diajukan dengan harapan mendapat persetujuan Tuhan.

Apakah doa seperti ini salah? Tidak selalu. Selama permohonan itu tidak bertentangan dengan nilai moral dan ajaran agama, doa tetap sah sebagai ekspresi kebutuhan manusia. Tapi ketika yang diminta adalah menuju pada kekuasaan yang tak halal, atau harta yang berasal dari ketidakadilan, maka doa itu ikut kehilangan nilai spiritualnya.

Kita juga tak bisa mengabaikan bahwa banyak doa lahir dari titik terendah dalam hidup manusia. Ketika semua jalan tertutup, ketika akal tak lagi mampu mencari solusi, doa menjadi satu-satunya harapan yang tersisa.

Dalam kondisi seperti itu, doa kehilangan formalitasnya. Ia menjadi seruan yang mentah, polos, dan sangat jujur, seperti tangisan bayi yang mencari ibunya.

Frustrasi dan doa adalah dua hal yang sering berjalan beriringan. Di tengah himpitan hidup, doa menjadi tempat jiwa bersandar, menenangkan kegelisahan yang tak mampu dijelaskan dengan logika.

Karena itu, tingginya frekuensi doa di Indonesia bisa dimaknai dari berbagai sudut. Ia bisa menjadi tanda bahwa bangsa ini masih memiliki harapan, meskipun realitas kadang tidak berpihak.

Namun bisa juga menjadi petunjuk bahwa ada keresahan kolektif yang tidak terselesaikan. Dengan kata lain bahwa doa menjadi tempat terakhir setelah semua usaha tak membuahkan hasil.

Meski demikian, di balik semua itu, tetap ada nilai luhur yang tidak bisa dipungkiri. Doa menunjukkan bahwa bangsa ini masih percaya bahwa di balik ketidakpastian, masih ada kekuatan ilahi yang bisa menjadi tumpuan. (*) 

Wallahu`alam

KEYWORD :

Indonesia Rajin Berdoa Religius Gejala Sosial




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :