Jum'at, 12/09/2025 17:48 WIB

Hukuman Bagi Koruptor dalam Syariat Islam, Salah Satunya Perampasan Harta

Ajaran Islam memandang korupsi sebagai bagian dari khianat, yakni menyalahgunakan kepercayaan demi keuntungan pribadi. Al-Qur’an secara eksplisit melarang tindakan mengambil harta orang lain melalui cara-cara yang batil.

Ilustrasi - Koruptor (Foto: Pexels/Tima Miroshnichenko)

Jakarta, Jurnas.com - Korupsi bukan sekadar kejahatan hukum, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan oleh rakyat. Dalam pandangan Islam, perbuatan ini tergolong dosa besar karena merampas hak publik secara zalim.

Tindak korupsi merusak sendi-sendi keadilan dan memperlebar kesenjangan sosial. Karena itu, Islam menempatkan korupsi sejajar dengan tindakan kriminal yang mengancam tatanan kehidupan masyarakat.

Ajaran Islam memandang korupsi sebagai bagian dari khianat, yakni menyalahgunakan kepercayaan demi keuntungan pribadi. Al-Qur’an secara eksplisit melarang tindakan mengambil harta orang lain melalui cara-cara yang batil.

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

Ayat ini tidak hanya mengharamkan korupsi, tetapi juga memperingatkan tentang manipulasi hukum yang sering dilakukan oleh pelaku. Ketika kekuasaan digunakan untuk membenarkan pencurian, maka kehancuran sosial hanyalah soal waktu.

Para ulama mengategorikan korupsi sebagai bagian dari ghulul, yaitu penggelapan harta yang dipercayakan kepadanya. Ghulul bukan hanya melanggar amanah manusia, tapi juga mencoreng nilai-nilai ketakwaan kepada Allah.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang berbuat ghulul, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan membawa apa yang ia ghululkan itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memberi gambaran yang gamblang bahwa korupsi tidak akan selesai di dunia. Pelakunya akan dipermalukan di hadapan seluruh manusia pada hari akhir.

Dalam konteks hukum Islam, koruptor bisa dijatuhi hukuman berdasarkan prinsip keadilan dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Islam memberi ruang bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi sesuai kondisi dan dampaknya bagi masyarakat.

Sanksi itu bisa berupa penjara, denda, atau hukuman fisik yang bersifat mendidik. Tujuannya bukan sekadar balas dendam, melainkan pemulihan keadilan dan pencegahan.

Selain hukuman langsung, Islam juga mewajibkan pengembalian seluruh harta yang dikorupsi. Harta itu dianggap najis dan tidak halal, serta wajib dikembalikan kepada negara atau pihak yang dirugikan.

Namun, jika korupsi menimbulkan kerusakan besar dan dilakukan secara terang-terangan, sebagian ulama menganggapnya termasuk kategori hirabah. Dalam hal ini, pelaku bisa dikenai hukuman sangat berat, bahkan sampai hukuman mati.

Meskipun penerapan hukuman tersebut memerlukan syarat ketat dan wewenang hakim, pesan moralnya jelas: korupsi adalah bentuk kerusakan sosial yang tak boleh ditoleransi. Syariat hadir untuk menjaga masyarakat dari kehancuran sistemik akibat penyalahgunaan kekuasaan. (*)

Islam tidak hanya memberikan ancaman hukuman, tapi juga membentuk mental anti-korupsi sejak dini. Kejujuran, amanah, dan rasa takut kepada Tuhan menjadi benteng pertama melawan godaan kekuasaan dan uang.

Karena itu, pemberantasan korupsi dalam Islam tidak hanya berbicara soal sanksi, tetapi juga pembinaan akhlak. Ketika hati bersih dari keserakahan, jabatan akan dipandang sebagai beban amanah, bukan ladang keuntungan pribadi.

Jika nilai-nilai ini tertanam dalam jiwa setiap pemimpin dan rakyat, maka korupsi bisa ditekan dari akarnya. Islam tidak sekadar menawarkan sistem hukum, tetapi juga etika hidup yang menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab. (*)

Wallahu`alam

KEYWORD :

Koruptor hukuman Islam harta Korupsi ghulul




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :