Jum'at, 12/09/2025 16:20 WIB

Berbicara Baik atau Diam, Menjaga Lisan untuk Kehidupan Damai

Kehati-hatian dalam berbicara menjadi bagian penting dari identitas seorang Muslim yang beriman.

Ilustrasi - kata-kata kasar dan umpatan (Foto: Unsplash/Alexander Krivitskiy)

Jakarta, Jurnas.com - Di tengah arus informasi yang deras dan derasnya opini publik di ruang digital, menjaga lisan menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar. Lisan bukan sekadar alat bicara, melainkan amanah dari Allah SWT yang memiliki konsekuensi besar, baik di dunia maupun akhirat.

Satu ucapan mampu melahirkan kedamaian dan mempererat persaudaraan, namun bisa juga menjadi pemantik perpecahan yang merusak tatanan kehidupan sosial. Oleh karena itu, kehati-hatian dalam berbicara menjadi bagian penting dari identitas seorang Muslim yang beriman.

Rasulullah SAW mengingatkan pentingnya menjaga ucapan sebagai bagian dari iman. Beliau bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam,” (HR Bukhari).

Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, ucapan yang baik adalah cerminan dari hati yang bersih dan niat yang lurus. Sebaliknya, lisan yang tidak dijaga bisa menjadi sumber dosa, menciptakan luka batin yang lebih dalam dari luka fisik.

Dalam kehidupan bermasyarakat, lisan yang tajam kerap menjadi penyebab retaknya hubungan antarindividu. Kalimat yang kasar, sinis, merendahkan, atau arogan bisa meninggalkan trauma panjang bagi orang yang mendengarnya.

Allah SWT telah memperingatkan bahaya ucapan yang merendahkan dalam Al-Qur’an. Dalam QS Al-Hujurat ayat 11 disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain… jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan lain… Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk…”

Ayat tersebut menegaskan bahwa menjaga lisan bukan hanya tentang sopan santun, melainkan juga menjaga kehormatan dan persaudaraan. Ucapan yang menyakiti termasuk bentuk kezaliman yang bisa menghapus nilai keimanan seseorang.

Dalam banyak kasus, konflik besar bermula dari satu kata yang disampaikan tanpa pertimbangan. Fitnah, adu domba, hingga ujaran kebencian bisa menghancurkan hubungan kekeluargaan, merusak citra seseorang, bahkan memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak masuk surga pelaku namimah (pengadu domba),” (HR Muslim). Ini menunjukkan bahwa dampak ucapan tidak bisa dianggap sepele, apalagi jika menimbulkan keretakan sosial.

Lebih dari itu, lisan bisa menjadi jalan tercepat menuju dosa besar. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridhaan Allah... dan ada pula yang berbicara dengan satu kalimat yang membuat Allah murka, lalu ia terjungkal ke dalam neraka Jahannam,” (HR Bukhari).

Di era media sosial seperti sekarang, menjaga lisan juga berarti menjaga jari-jemari. Apa yang ditulis, dikomentari, atau dibagikan di ruang digital memiliki dampak yang sama dengan ucapan di dunia nyata.

Ucapan dalam bentuk tulisan dapat tersebar lebih cepat dan luas, menjangkau banyak orang dalam waktu singkat. Karena itu, prinsip “berkata baik atau diam” harus menjadi pedoman saat berselancar di dunia maya.

Hal ini berlaku bagi siapa saja, tanpa terkecuali. Baik masyarakat biasa, pejabat negara, hingga tokoh agama, semua bertanggung jawab atas apa yang diucapkan dan disampaikan kepada publik.

Kritik boleh, tetapi harus disampaikan dengan adab dan niat yang benar. Jangan sampai niat menyampaikan kebenaran berubah menjadi sarana untuk merendahkan, menyudutkan, atau merasa paling benar sendiri.

Dalam Islam, menyakiti orang lain dengan ucapan, apalagi menyebarkan kebohongan, adalah bentuk kezaliman yang nyata. Maka, setiap Muslim wajib memastikan lisannya tidak menjadi sebab orang lain tersakiti, apalagi terfitnah.

Menjaga lisan adalah cermin ketakwaan dan bukti kematangan spiritual seseorang. Semakin seseorang mampu menahan ucapannya, semakin kuat pula kedewasaan iman dalam dirinya.

Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk berkomitmen menjadikan lisan sebagai jalan kebaikan. Setiap kata yang terucap harus membawa maslahat, bukan mudarat.

Dalam sebuah doa yang dinukil dari kitab Risalatul Mustarsyidin, disebutkan, “Allahumma aj‘al ṣamti fikran wa nuṭqi dhikran,” yang artinya, “Ya Allah, jadikanlah diamku sebagai perenungan, dan bicaraku sebagai dzikir.”

Doa ini menjadi pengingat bahwa setiap ucapan adalah pilihan, dan setiap pilihan akan dimintai pertanggungjawaban. Maka, gunakanlah lisan untuk menyampaikan yang benar dengan cara yang baik.

Dengan menjaga lisan, kita tidak hanya menyelamatkan diri sendiri dari dosa, tetapi juga menghadirkan kedamaian bagi orang-orang di sekitar kita. Hidup pun menjadi lebih aman, tenteram, dan penuh keberkahan. (*)

Wallahu`alam

KEYWORD :

Menjaga lisan Berbicara baik atau diam Islam




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :