
Ilustrasi kebahagiaan (foto: Live Science)
Jakarta, Jurnas.com - Setiap manusia mendambakan kebahagiaan. Namun, tak sedikit yang justru merasa hampa meski telah memiliki harta, jabatan, bahkan popularitas.
Hal ini menunjukkan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari pencapaian luar semata. Sering kali, justru hal-hal dari dalam diri sendirilah yang menjadi penghalang utamanya.
Sepanjang sejarah, kebahagiaan telah menjadi objek pemikiran banyak tokoh besar. Para ilmuwan, filsuf, hingga agamawan atau ulama berlomba merumuskan apa arti kebahagiaan yang sejati. Plato menyebut bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa diraih ketika manusia hidup dalam keutamaan jiwa.
Sementara itu, salah satu tokoh Muslim yang turut menyumbangkan gagasan tentang kebahagiaan adalah Al-Farabi, seorang filsuf besar dalam tradisi Islam. Meski bukan inti utama pemikirannya, Al-Farabi menyinggung secara serius soal kebahagiaan dalam beberapa karyanya.
Dua di antaranya yang secara khusus membahas kebahagiaan adalah al-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan) dan al-Tanbih al-Sa’adah (Membangun Kebahagiaan). Melalui karya-karya ini, ia mencoba menjelaskan bagaimana manusia bisa mencapai kebahagiaan sejati.
Menurut Al-Farabi, kebahagiaan terjadi ketika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan. Pada titik ini, manusia tidak lagi bergantung pada apapun yang bersifat materi atau eksistensi eksternal.
Ia menempatkan kebahagiaan sebagai kondisi ruhani yang tinggi, yang hanya bisa dicapai dengan mengembangkan akal dan keutamaan diri. Dalam pandangannya, kebahagiaan bukan hasil dari kepemilikan, melainkan dari proses menyempurnakan jiwa.
Pandangan ini sejalan dengan banyak ajaran dalam Islam yang menekankan bahwa kebahagiaan sejati lahir dari dalam, bukan dari apa yang bisa dipegang tangan. Kesempurnaan jiwa menjadi syarat mutlak untuk merasakan kedamaian yang utuh.
Tokoh Muslim lainnya yang cukup intens membahas soal kebahagian ialah Al-Ghazali. Ia meletakkan kebahagiaan pada puncak spiritual, ketika hati bersih dari nafsu dan dekat kepada Allah. Ia menyebutnya sebagai sa’adah, yakni kebahagiaan hakiki yang melampaui dunia.
Namun dalam realitas sehari-hari, kebahagiaan sering terhalang oleh penyakit hati yang tidak disadari. Rasa tamak, iri, dengki, dan keterikatan pada dunia tumbuh perlahan, tapi menghancurkan dari dalam.
Rasa tidak pernah puas menjadi akar dari banyak kegelisahan. Manusia terus mengejar sesuatu yang baru, namun hatinya tak pernah menemukan tempat untuk beristirahat.
Dalam ajaran Islam, qana’ah atau sikap menerima dengan ikhlas apa yang diberikan Allah adalah kunci untuk memutus lingkaran itu. Tanpa qana’ah, kebahagiaan akan selalu tampak seperti fatamorgana.
Sementara itu, sifat iri melahirkan ketidakbahagiaan yang dalam. Ketika seseorang tak mampu bersyukur atas nikmat sendiri, maka ia akan selalu terganggu oleh nikmat orang lain.
Perbandingan sosial yang terus-menerus hanya akan memperdalam luka batin. Dan luka itu akan menutup pintu kebahagiaan, sedikit demi sedikit.
Kecemasan terhadap masa depan juga menjadi beban mental yang tak ringan. Banyak orang kehilangan hari ini karena terus dihantui oleh hal-hal yang belum tentu terjadi.
Islam mengajarkan tawakal sebagai bentuk kepasrahan setelah ikhtiar. Dengan tawakal, hati tak perlu lelah menghadapi hal-hal yang berada di luar kendali manusia.
Namun ketenangan juga sulit hadir bila hati dibiarkan kotor oleh dosa. Rasulullah ﷺ menggambarkan bahwa setiap dosa meninggalkan titik hitam yang jika tak dibersihkan, akan menggelapkan seluruh hati.
Dalam kondisi itu, kebahagiaan akan sulit menembus dinding batin yang gelap. Hanya dengan taubat dan amal kebaikan, hati bisa kembali diterangi.
Masalah lain muncul ketika kebahagiaan digantungkan sepenuhnya pada hal duniawi. Ketika harta, jabatan, atau pujian menjadi ukuran bahagia, maka kehilangan akan terasa seperti akhir segalanya.
Padahal dunia hanyalah persinggahan, bukan tempat menetap. Terlalu menggantungkan harapan pada dunia hanya akan memperbesar luka saat kenyataan tidak sesuai harapan.
Oleh karena itu, menyadari penghalang-penghalang batin ini menjadi langkah penting menuju hidup yang lebih damai. Tanpa kesadaran itu, kebahagiaan akan terus menjadi sesuatu yang dikejar tapi tak pernah dirasakan. (*)
Wallahu`alam
KEYWORD :Filsuf Ulama Kebahagiaan sejati penghalang kebahagiaan qanaah iri hati rasa tidak puas