Kamis, 11/09/2025 18:56 WIB

Mengapa Nepal Dijuluki Negeri Seribu Kuil dan Negeri Seribu Dewa?

Ilustrasi - Nepal, Negeri Seribu Kuil (Foto: Expedia)

Jakarta, Jurnas.com - Selain dikenal sebagai Si Atap Dunia karena menjadi rumah bagi Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia, Nepal juga kaya akan warisan spiritual. Julukan Negeri Seribu Kuil dan Negeri Seribu Dewa lahir dari kenyataan bahwa kuil dan sosok ilahi begitu melimpah di negeri ini.

Dikutip dari berbagai sumber, jumlah kuil di Nepal bahkan dianggap sebanyak rumah-rumah yang ada. Sedangkan jumlah dewa di sana diumpamakan sebanyak penduduknya.

Beberapa kuil terkenal seperti Pashupatinath, Muktinath, dan Janaki menjadi tujuan ziarah umat Hindu dari seluruh penjuru dunia. Di Lembah Kathmandu, terdapat tujuh kompleks kuil Hindu-Buddha yang usianya sudah mencapai ribuan tahun.

Setiap kompleks tersebut menyimpan puluhan hingga ratusan candi, dari yang kecil hingga megah. Contohnya adalah Boudhanath dan Swayambhunath, dua stupa besar yang kerap dikunjungi umat Buddha.

Lumbini, tempat kelahiran Buddha Gautama, menjadi pusat spiritual dan simbol perdamaian yang penting, bahkan mendapat pengakuan UNESCO sebagai situs warisan dunia.

Nepal terbagi dalam 14 zona dan 75 distrik, di mana ratusan kuil tersebar di seluruh wilayahnya. Ini memperkuat julukan negeri dengan tempat ibadah yang begitu banyak dan beragam.

Kuil di Nepal bukan sekadar bangunan tempat doa. Ia adalah pusat kehidupan, tempat orang menikah, bermeditasi, berdagang, bahkan mencari petunjuk hidup.

Namun, kuil saja tidak menjelaskan sepenuhnya spiritualitas negeri ini. Ada sesuatu yang lebih dalam—yaitu keyakinan bahwa para dewa hidup berdampingan dengan manusia.

Julukan “Negeri Seribu Dewa” merujuk pada ribuan sosok ilahi yang dipuja oleh masyarakat Nepal, dari dewa-dewa Hindu seperti Shiva, Vishnu, dan Durga, hingga Bodhisattva dalam tradisi Buddha Mahayana. Setiap desa bisa memiliki pelindung spiritualnya sendiri, setiap keluarga menyimpan altar pribadi untuk sembahyang harian.

Dewa tidak jauh di langit, mereka diyakini hadir di tengah kehidupan. Dalam pesta panen, kelahiran anak, hingga kematian—nama dewa selalu disebut.

Di Nepal, agama bukan hanya sistem keyakinan, tapi bagian dari denyut harian masyarakat. Inilah mengapa kedua julukan itu tidak bisa dipisahkan—kuil menjadi rumah bagi para dewa, dan dewa memberi makna bagi keberadaan kuil.

Secara historis, budaya religius ini berkembang sejak masa kerajaan-kerajaan kuno, terutama Dinasti Malla, yang mendorong pembangunan kuil dan mendukung keberagaman kepercayaan. Kathmandu, Bhaktapur, dan Patan tumbuh sebagai kota-kota suci, tempat seni dan spiritualitas bersatu dalam bentuk arsitektur yang mendalam.

Hingga kini, warisan itu masih hidup. Situs-situs seperti Pashupatinath, Boudhanath, dan Swayambhunath bukan hanya objek wisata, tapi ruang ziarah yang terus ramai oleh peziarah lokal dan mancanegara.

Keunikan Nepal juga terletak pada kemampuannya menjaga harmoni di tengah perbedaan. Hindu dan Buddha tidak saling meniadakan di sini—mereka saling berdampingan, saling mengisi.

Meski modernisasi dan krisis politik datang silih berganti, kedalaman spiritual Nepal tak mudah digoyang. Bahkan di tengah gejolak seperti kerusuhan politik atau tekanan ekonomi, tradisi tetap menjadi jangkar yang menjaga kestabilan batin rakyatnya. (*)

KEYWORD :

Nepal Negeri Seribu Kuil Negeri Seribu Dewa Atap Dunia




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :