Rabu, 10/09/2025 23:56 WIB

Kematian dalam Islam, Akhir Kehidupan atau Awal Perjalanan?

Dalam ajaran Islam, kematian adalah bagian dari takdir yang pasti, tak bisa dipercepat atau ditunda walau sesaat.

Ilustrasi mayat

Jakarta, Jurnas.com - Islam/" style="text-decoration:none;color:red;font-weight:bold">Kematian dalam Islam bukan sekadar akhir kehidupan biologis, melainkan titik awal dari perjalanan panjang menuju kehidupan abadi. Dalam ajaran Islam, kematian adalah bagian dari takdir yang pasti, tak bisa dipercepat atau ditunda walau sesaat.

Setiap manusia, tanpa memandang status, usia, atau kekuatan, akan melewati fase ini. Kematian menjadi momen penutup dunia, sekaligus pintu pembuka menuju alam kubur, mahsyar, hingga hari perhitungan akhir.

Berbeda dari pandangan sekuler yang menganggap kematian sebagai kehampaan atau akhir segalanya, Islam justru memandangnya sebagai perpindahan alam. Jiwa berpisah dari raga, dan dimulailah kehidupan baru yang disebut barzakh—ruang antara dunia dan akhirat.

Nabi Muhammad ﷺ menggambarkan kematian sebagai peristiwa yang menyingkap tabir hakikat kehidupan. Banyak hadis yang menjelaskan kondisi ruh, azab dan nikmat kubur, serta pentingnya amal sebagai bekal yang menyertai manusia setelah nyawanya terangkat.

Dalam Al-Qur’an, kematian disebut sebagai yaqin—kepastian mutlak. Surah Al-Mulk menyebutkan bahwa Allah menciptakan hidup dan mati untuk menguji siapa yang paling baik amalnya, bukan yang paling lama umurnya atau paling tinggi jabatannya.

Karena itu, Islam menempatkan kesadaran akan kematian sebagai bagian penting dari kecerdasan spiritual. Orang yang paling cerdas, menurut Nabi ﷺ, adalah mereka yang paling banyak mengingat mati dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelahnya.

Namun dalam kehidupan modern, kematian sering dijauhkan dari percakapan sehari-hari. Ia dianggap menyeramkan, tabu, atau bahkan disensor dalam budaya populer, padahal justru kesadaran akan kematian bisa melahirkan ketenangan, bukan ketakutan.

Mengingat mati tidak berarti pesimis, melainkan mengembalikan fokus manusia pada esensi hidup. Nilai kejujuran, ketulusan, dan amal menjadi lebih berarti saat manusia menyadari bahwa semuanya akan dipertanggungjawabkan.

Tradisi Islam juga mengajarkan adab dalam menghadapi kematian—baik sebagai orang yang ditinggal maupun yang mendampingi orang sakit. Doa, sabar, dan husnuzan kepada takdir menjadi bagian dari etika kemanusiaan yang luhur dalam Islam.

Kematian bukan sekadar tragedi, melainkan juga pengingat yang penuh hikmah. Banyak orang tersadarkan, memperbaiki diri, atau menemukan makna setelah melihat kematian menyapa orang-orang di sekitarnya.

Dalam konteks sosial, kematian juga memutus urusan dunia, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan. Konsep ini membentuk budaya amal dalam Islam yang berorientasi jangka panjang.

Saat dunia bergerak semakin cepat, kesadaran akan kefanaan justru menjadi rem yang sehat bagi jiwa. Ia menenangkan ambisi, meredam keangkuhan, dan mengingatkan bahwa kehidupan bukan hanya soal pencapaian, tapi juga pertanggungjawaban.

Islam tidak mengajarkan untuk takut mati, tapi untuk siap menghadapinya. Bukan dengan ketakutan yang lumpuh, melainkan kesiapan yang melahirkan amal, kesungguhan, dan keikhlasan dalam menjalani hidup. (*)

Wallahu`alam

KEYWORD :

Kematian dalam Islam Perjalanan hidup Islam ibadah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :