
Seorang siswa SMA berpose dengan ponselnya yang memperlihatkan aplikasi media sosialnya di Melbourne, Australia, 28 November 2024. REUTERS
Jakarta, Jurnas.com - Media sosial telah menjadi bagian dari denyut kehidupan manusia modern. Hampir semua orang kini terhubung dalam ruang digital melalui platform seperti Facebook, Instagram, TikTok, hingga X (Twitter).
Kemudahan ini memungkinkan komunikasi tanpa batas geografis, bahkan membuka peluang ekonomi bagi siapa saja yang mampu memanfaatkannya. Tak sedikit pula yang menjadikan media sosial sebagai ruang aktualisasi diri dan sumber penghasilan tetap.
Namun di balik manfaat yang tampak menjanjikan, tersembunyi potensi bahaya yang kerap luput dari kesadaran pengguna. Ketergantungan digital, penyebaran informasi keliru, hingga tekanan sosial menjadi sisi gelap yang mulai mencuat.
Dalam perspektif Islam, media sosial bukan sekadar alat komunikasi, melainkan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Segala hal di dunia bisa menjadi nikmat atau musibah, tergantung pada cara dan tujuan penggunaannya.
Jika digunakan untuk menyebarkan kebaikan, ilmu, atau dakwah, media sosial bisa menjadi ladang pahala yang luas. Namun jika dijadikan sarana untuk ghibah, memamerkan diri, atau menyebarkan hoaks, ia bisa menjadi jalan menuju dosa.
Realitas hari ini menunjukkan bahwa media sosial telah melahirkan banyak kemuliaan. Para dai, ulama, dan konten kreator Muslim berhasil menjadikannya sebagai jembatan dakwah, penggalangan donasi, serta penyebar inspirasi positif.
Namun pada saat yang sama, kasus kehancuran rumah tangga, perundungan, dan kejahatan daring justru bermula dari interaksi digital. Tak sedikit pula yang terjerumus dalam penyakit hati seperti iri, sombong, dan ujub karena larut dalam budaya pamer.
Lima Kitab Maulid Paling Populer di Indonesia
Fenomena ini menggambarkan bahwa media sosial bisa menjadi medan ujian bagi hati dan akhlak. Ketika tidak ada kontrol diri, yang terlihat hanyalah pencitraan dan pengakuan semu dari khalayak maya.
Islam mengajarkan prinsip wasathiyah, yaitu keseimbangan dalam segala hal termasuk dalam bermedia sosial. Pengguna dituntut untuk bijak menilai apakah yang dibagikan bermanfaat atau justru membawa mudarat bagi diri dan orang lain.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata baik atau diam. Dalam konteks digital, pesan ini relevan sebagai pengingat untuk menjaga jari sebelum mengetik dan membagikan konten.
Selain itu, waktu menjadi tantangan lain yang tak kalah besar. Tanpa disadari, media sosial bisa menyita banyak waktu yang seharusnya digunakan untuk ibadah, belajar, atau menjalankan tanggung jawab utama.
Padahal dalam Islam, waktu adalah nikmat besar yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap detik yang terbuang untuk hal sia-sia akan menjadi beban kelak di akhirat.
Karena itu, seorang Muslim perlu menata niat sejak awal saat menggunakan media sosial. Niatkan untuk kebaikan, ilmu, silaturahmi, dan dakwah agar keberadaan kita di dunia maya bernilai di sisi Allah.
Dengan kesadaran spiritual dan literasi digital yang seimbang, media sosial bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan menjauh dari-Nya. Jalan menuju pahala kini terbuka lebih luas, tergantung bagaimana cara kita melangkah. (*)
Wallahu`alam
KEYWORD :Media sosial Muslim Islam amal ilmu dakwah