Senin, 08/09/2025 15:14 WIB

Makan Terlalu Banyak Protein, Apakah Aman? Ini Kata Ahli Gizi

Apa yang terjadi pada tubuh kita jika terlalu banyak makan protein? begini jawaban ahli gizi
 

Ilustrasi sedang makan (Foto: Pexels/Kampus Production)

Jakarta, Jurnas.com - Tren konsumsi protein tampaknya belum akan mereda dalam waktu dekat. Di media sosial, saran untuk menambah asupan protein terus bermunculan, didorong pula oleh produk makanan yang kini berlomba-lomba menonjolkan kandungan proteinnya.

Di tengah euforia ini, pertanyaannya sederhana: apakah tubuh benar-benar membutuhkan protein sebanyak itu? Atau justru ada risiko kesehatan yang tersembunyi di balik konsumsi berlebih? Apa yang terjadi pada tubuh kita jika terlalu banyak makan protein?

Menurut Margaret Murray, dosen senior bidang nutrisi di Swinburne University of Technology, protein memang nutrisi esensial yang berperan dalam pembentukan otot, enzim, hormon, hingga fungsi imun. Namun, ia menegaskan bahwa banyak orang dewasa sebenarnya telah mengonsumsi cukup protein dari makanan sehari-hari.

Berdasarkan pedoman resmi di Australia, kebutuhan protein harian untuk pria dewasa adalah sekitar 0,84 gram per kilogram berat badan, sedangkan wanita memerlukan 0,75 gram per kilogram. Artinya, pria dengan berat badan 90 kilogram hanya memerlukan sekitar 76 gram protein per hari, dan wanita berbobot 70 kilogram cukup dengan 53 gram.

Meski demikian, tren gaya hidup sehat membuat banyak orang berupaya menambah asupan protein lewat suplemen atau makanan tinggi protein. Padahal, menurut riset, manfaat peningkatan massa otot hanya terjadi hingga batas konsumsi 1,6 gram per kilogram berat badan per hari.

Setelah melewati batas tersebut, tidak ditemukan tambahan manfaat signifikan, terutama bagi mereka yang tidak melakukan latihan kekuatan secara rutin. Ini berarti menambah protein secara berlebihan tidak selalu sebanding dengan hasil yang didapat.

Kelebihan asupan protein juga tidak serta-merta dibuang tubuh begitu saja melalui urine atau feses. Sebaliknya, kelebihan energi dari protein akan disimpan tubuh dalam bentuk jaringan lemak.

Dalam jangka panjang, kelebihan ini dapat berkontribusi pada penambahan berat badan, terutama jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik. Selain itu, konsumsi protein berlebih juga bisa memperberat kerja ginjal, terutama pada mereka yang memiliki gangguan ginjal kronis.

Bagi kelompok ini, pengaturan protein harus dilakukan secara ketat di bawah pengawasan ahli gizi. Jika tidak, fungsi ginjal bisa semakin menurun akibat beban metabolik yang meningkat.

Lebih jauh, ada kondisi yang dikenal sebagai protein poisoning atau keracunan protein, yang terjadi ketika seseorang mengonsumsi protein dalam jumlah tinggi tanpa cukup lemak dan karbohidrat. Kondisi ini dapat menyebabkan mual, kelelahan, hingga gangguan pencernaan serius.

Istilah ini sempat populer lewat kisah penjelajah awal abad ke-20, Vilhjalmur Stefansson, yang mengamati gejala penyakit tersebut pada orang-orang yang hanya mengandalkan daging kelinci sebagai sumber makanan utama. Daging kelinci dikenal sangat rendah lemak, sehingga tidak mencukupi kebutuhan energi secara menyeluruh.

Di samping jumlah, sumber protein juga patut mendapat perhatian. Protein dari hewan seperti daging, telur, atau produk susu memang padat gizi, tetapi juga kerap dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kronis.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa konsumsi tinggi protein hewani berhubungan dengan risiko kematian dini, terutama akibat kanker dan diabetes tipe 2. Hal ini diperparah oleh tingginya kandungan lemak jenuh dalam banyak produk hewani.

Sebaliknya, protein nabati dari sumber seperti kacang-kacangan, lentil, dan biji-bijian justru dikaitkan dengan penurunan risiko penyakit kronis. Selain itu, makanan berbasis nabati juga kaya serat yang mendukung kesehatan pencernaan dan jantung.

Di Australia, sebagaimana di banyak negara lainnya, konsumsi serat masih jauh di bawah angka ideal. Ini menambah alasan kuat untuk menggeser pola makan menuju sumber protein yang lebih berbasis tanaman.

Meski demikian, Murray menegaskan bahwa persoalan protein bukan semata soal jumlah atau jenisnya. Yang lebih penting adalah keseimbangan menyeluruh dalam pola makan, termasuk kecukupan karbohidrat, lemak sehat, vitamin, dan mineral.

Tubuh bekerja seperti mesin yang kompleks, yang memerlukan semua komponen gizi dalam proporsi yang tepat agar dapat berfungsi optimal. Karena itu, pendekatan satu nutrisi seperti "semakin banyak protein semakin baik" tidak lagi relevan dalam konteks kesehatan jangka panjang.

Dalam dunia gizi, keseimbangan tetap menjadi prinsip utama. Sebelum tergoda menambahkan satu scoop lagi protein shake ke dalam smoothie pagi Anda, ada baiknya mempertimbangkan apakah tubuh Anda benar-benar membutuhkannya. (*)

Sumber: Science Alert

KEYWORD :

Protein Konsumsi protein Kebutuhan jumlah protein Gaya hidupp sehat




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :