
Ilustrasi lafadz Nabi Muhammad SAW (Foto: Pexels/Mutefekkirane)
Jakarta, Jurnas.com - Di balik sosok agung Nabi Muhammad SAW, berdiri seorang perempuan mulia yang tak hanya menjadi istri, tetapi juga penopang perjuangan dakwah sejak awal: Siti Khadijah binti Khuwailid. Ia bukan hanya cinta pertama Rasulullah, tapi juga jiwa yang pertama kali menyambut wahyu dengan penuh keyakinan.
Siti Khadijah adalah wanita terpandang di Makkah, dikenal karena integritas dan kejernihan pikirannya. Ia sukses sebagai pedagang dan dikenal luas karena kejujurannya dalam berniaga. Namun, di balik kemapanannya, ia justru tertarik pada sosok Muhammad bin Abdullah, pemuda yang saat itu belum dikenal dunia sebagai Nabi, tetapi sudah dikenal karena amanah dan akhlaknya.
Pernikahan mereka bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan kolaborasi spiritual yang menjadi fondasi awal dakwah Islam. Ketika wahyu pertama turun di Gua Hira, Nabi Muhammad pulang dalam keadaan gemetar. Khadijah tidak bertanya-tanya dengan curiga, apalagi mencemooh. Ia menyelimuti Nabi, menenangkan hatinya, lalu membawanya kepada Waraqah bin Naufal, seorang pendeta yang mengenal nubuat. Saat itu pula, Khadijah menjadi orang pertama yang beriman.
Keteguhan Khadijah dalam mendampingi Rasulullah bukan hanya emosional, tapi juga material. Ia mengorbankan seluruh hartanya untuk membiayai perjuangan suaminya. Ketika kaum Quraisy memboikot Nabi dan para pengikutnya hingga harus bertahan hidup di lembah sempit selama bertahun-tahun, Khadijah tetap setia. Ia tidak hanya menanggung lapar dan sakit, tetapi juga menyemangati Rasul agar tidak surut dalam menyampaikan kebenaran.
Khadijah wafat pada usia 65 tahun, tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. Tahun itu kemudian dikenang Rasulullah sebagai ‘Amul Huzn—Tahun Kesedihan. Duka mendalam itu tidak hanya karena kehilangan seorang istri, tapi juga sahabat terdekat dan pembela sejati.
“Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkariku, dan dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku,” kenang Rasulullah SAW, bertahun-tahun setelah wafatnya Khadijah. Hingga akhir hayatnya, Rasul tetap menyebut-nyebut namanya, menyambut setiap hadiah yang datang dari kerabat Khadijah, dan tidak pernah menikah lagi selama Khadijah masih hidup.
Kisah Siti Khadijah bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah pelajaran abadi tentang keteguhan hati, kekuatan perempuan, dan arti cinta dalam perjuangan. Dalam setiap jejak dakwah Nabi Muhammad SAW, ada tangan Khadijah yang menopang, ada doa Khadijah yang menyelimuti, dan ada pengorbanan Khadijah yang membukakan jalan. (*)
Kisah Siti Khadijah Istri Perama Nabi Muhammad Pilar Awal Islam