Sabtu, 06/09/2025 02:12 WIB

Studi Ungkap Dua Pemicu Utama Obesitas Selain Pola Makan dan Olahraga

temuan ilmiah terbaru dari UCLA Health menyebut bahwa penyebab obesitas jauh lebih kompleks daripada sekadar pilihan gaya hidup.

Ilustrasi obesitas

Jakarta, Jurnas.com - Angka obesitas di Amerika Serikat terus melonjak meski anjuran untuk makan sehat dan rutin berolahraga telah lama digaungkan. Kini, temuan ilmiah terbaru dari UCLA Health menyebut bahwa penyebabnya jauh lebih kompleks daripada sekadar pilihan gaya hidup.

Dalam studi yang dipublikasikan di Clinical Gastroenterology and Hepatology, para peneliti menyoroti peran besar dari stres kronis dan ketimpangan sosial. Keduanya terbukti mengubah sistem biologis tubuh, termasuk cara kerja otak dan usus.

Peneliti menemukan bahwa tekanan sosial tidak hanya memengaruhi keputusan sehari-hari, tetapi juga membentuk hasrat makan, motivasi, hingga respons hormonal. Artinya, obesitas tidak bisa dipandang semata-mata sebagai kurangnya disiplin individu.

Hal ini diperkuat oleh konsep “social determinants of health” yang meliputi pendapatan, pendidikan, keamanan lingkungan, akses layanan kesehatan, serta pengalaman diskriminasi dan isolasi. Semua faktor tersebut menjadi latar hidup yang mendorong tubuh ke arah penambahan berat badan secara sistemik.

Di tengah tekanan sosial itu, tubuh merespons dengan perubahan biologis yang memperkuat kebiasaan makan tak sehat. Misalnya, keluarga berpenghasilan rendah cenderung memilih makanan olahan karena lebih murah dan mudah didapat.

Selain itu, kawasan miskin sering kekurangan toko bahan makanan sehat, fasilitas umum yang aman, dan akses medis yang layak. Situasi ini membuat stres menjadi bagian konstan dari kehidupan sehari-hari.

Stres yang terus-menerus tidak hanya mengubah perilaku, tetapi juga mengganggu komunikasi antara usus dan otak. Mikroba usus mengirimkan sinyal ke otak yang kemudian memengaruhi produksi hormon, dorongan makan, serta pengendalian emosi.

Menurut Dr. Arpana Church dari Goodman-Luskin Microbiome Center UCLA, hubungan antara mikrobioma usus dan respons otak merupakan kunci dalam memahami obesitas. Ia menegaskan bahwa perubahan besar dalam pendekatan medis dan kebijakan publik sangat dibutuhkan.

Kondisi sosial seperti kesepian juga memperburuk masalah, karena isolasi mengubah cara otak memproses sinyal penghargaan. Makanan kemudian menjadi sumber kenyamanan yang makin sulit ditolak karena otak lebih sensitif terhadap dorongan tersebut.

Seiring itu, keberagaman mikroba di usus menurun dan peradangan meningkat, memperkuat siklus keinginan makan yang tidak sehat. Sistem metabolisme pun ikut terganggu akibat sinyal biologis yang tak lagi seimbang.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dampak ketimpangan bisa dimulai sejak dalam kandungan. Stres pada ibu hamil memengaruhi perkembangan janin, termasuk fungsi metabolisme dan komposisi mikrobioma usus anak.

Setelah lahir, faktor seperti pemberian ASI, pola makan awal, dan penggunaan antibiotik turut memengaruhi risiko obesitas. Namun dalam banyak kasus, perlindungan biologis tersebut tidak cukup kuat untuk melawan tekanan sosial yang terus berlangsung.

Di sisi lain, neighborhood atau lingkungan tempat tinggal terbukti memainkan peran penting. Daerah dengan akses rendah terhadap makanan sehat, ruang terbuka, dan layanan kesehatan berkualitas memiliki tingkat obesitas yang lebih tinggi.

Paparan stres struktural seperti diskriminasi dan kemiskinan juga meninggalkan jejak pada sistem saraf pusat. Bagian otak yang mengatur motivasi dan pengambilan keputusan mengalami penurunan fungsi akibat paparan jangka panjang.

Perubahan tersebut memperkuat ketergantungan pada makanan sebagai pelarian emosional. Dalam jangka panjang, kondisi ini membentuk siklus biologis yang sulit diputus tanpa intervensi sistemik.

Namun para peneliti menekankan bahwa solusi tetap mungkin dilakukan jika kebijakan publik dan pendekatan medis bergerak bersama. Perluasan akses terhadap layanan kesehatan, makanan bergizi, dan ruang publik yang aman menjadi langkah awal yang krusial.

Meski demikian, individu tetap bisa mengambil peran dalam mengelola risiko obesitas. Menjaga koneksi sosial, memilih makanan bernutrisi yang terjangkau, serta mengelola stres melalui aktivitas ringan dapat memberikan dampak nyata.

Beberapa klinik juga mulai menerapkan pendekatan baru seperti terapi perilaku kognitif dan mindfulness untuk mengatasi makan emosional. Bahkan, intervensi biologis seperti probiotik dan transplantasi mikrobiota mulai diuji untuk memperbaiki kesehatan usus.

Dr. Church menegaskan bahwa dokter perlu mempertimbangkan kondisi sosial pasien dalam penyusunan rencana perawatan. Hanya dengan pendekatan yang dipersonalisasi dan menyeluruh, angka obesitas bisa ditekan secara berkelanjutan.

Dengan demikian, pesan yang dibawa studi ini sangat jelas: obesitas bukan hanya soal makan terlalu banyak atau kurang bergerak. Ia adalah cerminan dari tekanan sosial, ekonomi, dan biologis yang saling terkait dan harus diatasi secara holistik. (*)

Sumber: Earth

KEYWORD :

Studi Penyebab Obesitas Stres kronis Gaya Hidup Pola Makan dan Olahraga




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :