Sabtu, 06/09/2025 01:38 WIB

Jejak Banon, Tradisi Keraton Yogyakarta yang Digelar Setiap Delapan Tahun Sekali

Jejak Banon adalah salah satu prosesi paling sakral di Keraton Yogyakarta yang hanya dilaksanakan setiap Tahun Dal, atau delapan tahun sekali, dalam kalender Jawa.

Prosesi Jejak Banon di Kompleks Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta (Foto: Harian Jogja)

Jakarta, Jurnas.com - Dalam keramaian malam di pelataran Masjid Gedhe Kauman, ada satu langkah yang ditunggu-tunggu. Langkah yang tidak setiap tahun bisa disaksikan. Langkah yang penuh makna, simbol, dan warisan. Itulah Jejak Banon — salah satu prosesi paling sakral di Keraton Yogyakarta yang hanya dilaksanakan setiap Tahun Dal, atau delapan tahun sekali, dalam kalender Jawa.

Tahun 2025 ini menjadi istimewa. Setelah sewindu menanti, tradisi Jejak Banon kembali digelar sebagai bagian dari rangkaian Hajad Dalem Sekaten dan Grebeg Mulud Tahun Dal 1959. Prosesi yang digelar pada malam Kamis (4/9/2025) di Kompleks Masjid Gedhe Kauman ini menyatukan kekuatan spiritual Islam, tradisi kerajaan, serta nilai-nilai kebudayaan Jawa dalam satu momentum yang tak hanya ditonton, tapi dirasakan.

Dikutip dari laman Pemda DIY, dalam kepercayaan masyarakat Jawa, Tahun Dal memiliki makna spiritual, di antaranya karena dipercaya sebagai tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Jejak Banon menjadi puncak dari prosesi Kondur Gangsa yang dilaksanakan usai pembacaan riwayat Nabi. Prosesi ini dipimpin langsung oleh Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang berjalan menapaki susunan bata merah di sisi selatan Masjid Gedhe.

Langkah tersebut bukan sekadar simbol seremonial, melainkan jejak warisan leluhur yang memuat nilai perubahan dan keberanian. Melangkah di atas pecahan bata menjadi perlambang transisi masyarakat Jawa saat menerima ajaran Islam secara damai.

Sebelum melangkah, Sri Sultan terlebih dahulu membagikan udhik-udhik kepada masyarakat yang memadati lokasi. Udhik-udhik yang berisi bunga, koin, dan biji-bijian itu diyakini membawa berkah dan menjadi bentuk kedekatan pemimpin dengan rakyatnya.

Prosesi dilanjutkan dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW oleh Kiai Penghulu Keraton. Kisah hidup Rasulullah dibacakan dalam bahasa Jawa dengan intonasi lembut, menciptakan suasana syahdu dan khusyuk di tengah malam.

Ketika Sri Sultan melangkahkan kakinya ke atas tumpukan bata, seluruh perhatian tertuju pada satu titik. Momen tersebut menjadi simbol keberanian spiritual, menapaki masa depan tanpa meninggalkan jejak budaya dan sejarah.

Menurut KRT Kusumonegoro, Koordinator Prosesi Garebeg Mulud Dal 1959, Jejak Banon mengandung makna filosofis yang dalam. Ia menyebut langkah Sultan sebagai representasi keputusan besar para leluhur Jawa saat membuka diri terhadap Islam.

Kusumonegoro menjelaskan bahwa Jejak Banon hanya dilaksanakan pada Tahun Dal karena dipercaya bahwa Nabi Muhammad lahir pada tahun tersebut. Karena itu, prosesi ini tidak hanya sakral secara budaya, tapi juga bermuatan spiritual yang kuat.

Usai Jejak Banon, gamelan pusaka Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga yang sebelumnya ditabuh selama Sekaten, dikembalikan ke Keraton melalui prosesi Kondur Gangsa. Peristiwa ini menandai akhir dari seluruh rangkaian Sekaten, sekaligus menjadi pengantar menuju puncak Grebeg Mulud.

Sekaten sendiri merupakan tradisi warisan Kesultanan Demak yang dahulu digunakan para wali sebagai media dakwah. Melalui gamelan, masyarakat diajak mendekat ke masjid, lalu dikenalkan pada ajaran Islam secara bertahap dan damai.

Meski zaman telah berubah, tradisi ini terus dirawat dan dilestarikan oleh Keraton Yogyakarta. Jejak Banon menjadi bukti bahwa akulturasi antara Islam dan budaya Jawa masih tetap hidup, bahkan semakin dimaknai dari waktu ke waktu.

Tidak hanya sebagai warisan budaya, Jejak Banon juga menjadi ruang spiritual bagi masyarakat yang hadir. Mereka tidak hanya menyaksikan, tetapi turut merasakan getaran nilai-nilai keislaman yang menyatu dalam tata cara Jawa.

Dengan hanya digelar delapan tahun sekali, Jejak Banon menjadi momen langka sekaligus berharga. Dalam satu langkah Sultan, tergambar perjalanan sejarah panjang, dari dakwah para wali hingga keyakinan kolektif masyarakat Jawa hari ini. (*)

KEYWORD :

Jejak Banon Tradisi Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono Maulid Nabi Muhammad




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :