Rabu, 03/09/2025 05:50 WIB

Gangguan Mental Pangkas Harapan Hidup, Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung

Penurunan harapan hidup ini ditemukan pada penderita depresi, skizofrenia, gangguan bipolar, PTSD, dan kecemasan. Penyebab utamanya adalah risiko penyakit kardiovaskular yang meningkat drastis pada kelompok ini.

Ilustrasi Gangguan Mental (Foto: Pexels/Darya Sannikova)

Jakarta, Jurnas.com - Orang dengan gangguan mental berat memiliki harapan hidup 10 hingga 20 tahun lebih pendek dibanding populasi umum. Namun bukan bunuh diri atau overdosis yang paling sering menjadi penyebab kematian, melainkan penyakit jantung.

Hal ini disampaikan dalam tinjauan ilmiah berskala besar yang dipimpin oleh peneliti dari Emory University, Viola Vaccarino. Studi ini dipublikasikan dalam jurnal The Lancet Regional Health – Europe.

Penurunan harapan hidup ini ditemukan pada penderita depresi, skizofrenia, gangguan bipolar, PTSD, dan kecemasan. Penyebab utamanya adalah risiko penyakit kardiovaskular yang meningkat drastis pada kelompok ini.

Depresi diketahui meningkatkan risiko penyakit jantung hingga 72 persen. Skizofrenia bahkan hampir menggandakan risikonya, mencapai 95 persen.

Sementara itu, gangguan bipolar berkaitan dengan peningkatan risiko sebesar 57 persen, PTSD 61 persen, dan gangguan kecemasan 41 persen. Angka-angka ini menunjukkan bahwa hubungan antara kesehatan mental dan kesehatan jantung sangat erat dan serius.

Meski risikonya tinggi, pasien dengan gangguan mental justru lebih jarang menerima perawatan jantung yang memadai. Banyak yang tidak menjalani skrining rutin, tidak mendapat pengelolaan faktor risiko, atau kurang mendapatkan pengobatan berbasis bukti.

Ketimpangan ini memperlebar kesenjangan angka harapan hidup antara penderita gangguan mental dan masyarakat umum. Padahal, sekitar seperempat populasi dunia diperkirakan akan mengalami gangguan mental sepanjang hidupnya.

Hubungan antara penyakit mental dan penyakit jantung tidak hanya bersifat kebetulan. Keduanya saling memengaruhi melalui jalur biologis dan perilaku.

Gaya hidup tidak sehat seperti merokok, kurang aktivitas fisik, dan pola makan buruk lebih sering terjadi pada penderita gangguan mental. Di sisi lain, stres kronis juga memicu peradangan sistemik, tekanan darah tinggi, hingga resistensi insulin—semuanya mempercepat kerusakan jantung.

Efeknya juga berjalan sebaliknya, karena penderita penyakit jantung berisiko mengalami gangguan mental setelah kejadian akut. Misalnya, sekitar 28 persen pasien serangan jantung mengalami depresi, dan 12 persen mengembangkan PTSD.

Penyintas stroke juga menunjukkan angka gangguan mental yang tinggi, dengan satu dari empat mengalami depresi pascakejadian. Namun, kebanyakan sistem pelayanan kesehatan belum mampu menangani kedua kondisi ini secara bersamaan.

Dalam praktiknya, layanan kesehatan mental dan kardiologi masih berjalan terpisah. Klinik jantung jarang menyaring kondisi seperti depresi atau kecemasan, sementara layanan psikiatri jarang memantau tekanan darah, kadar gula, atau kolesterol pasiennya.

Fragmentasi ini diperparah oleh hambatan akses layanan, terutama di kelompok sosial rentan. Dalam survei di Amerika Serikat, lebih dari separuh orang dengan gangguan mental tidak mendapat pengobatan sama sekali.

Bahkan di negara dengan jaminan kesehatan universal, pasien dengan gangguan mental tetap lebih jarang mendapat pengobatan atau prosedur kardiovaskular yang direkomendasikan. Faktor seperti kemiskinan, tempat tinggal tidak stabil, dan isolasi sosial ikut menghambat kepatuhan terhadap pengobatan.

Namun, sejumlah pendekatan yang sudah dikenal terbukti memberi manfaat ganda bagi kesehatan jantung dan mental. Olahraga, misalnya, efektif mengurangi gejala depresi sekaligus memperbaiki tekanan darah, sensitivitas insulin, dan fungsi pembuluh darah.

Latihan seperti yoga, meditasi, dan tai chi juga dapat meredakan kecemasan dan depresi. Meskipun bukti langsung terhadap pencegahan serangan jantung masih terbatas, sinyal awal cukup menjanjikan dan patut diteliti lebih lanjut.

Model perawatan terintegrasi—yang melibatkan kerja sama tim psikiatri dan kardiologi—telah menunjukkan hasil positif terhadap kesehatan mental pasien. Langkah berikutnya adalah membuktikan bahwa pendekatan ini juga mampu menurunkan angka kematian akibat penyakit jantung.

Sayangnya, banyak uji klinis kardiovaskular masih mengecualikan pasien dengan gangguan mental. Akibatnya, dokter kekurangan panduan berbasis bukti yang spesifik untuk kelompok berisiko tinggi ini.

Para peneliti menyerukan perubahan sistemik dalam pendidikan dan praktik medis. Kurikulum kedokteran harus mencakup pelatihan untuk memahami keterkaitan antara penyakit fisik dan mental.

Layanan kesehatan juga perlu mengintegrasikan skrining kardiovaskular dalam praktik psikiatri, dan sebaliknya, memasukkan skrining gangguan mental ke dalam praktik kardiologi. Hal ini bisa mencegah keterlambatan diagnosis dan pengobatan.

Selain itu, pendekatan berbasis komunitas juga berperan penting dalam memperbaiki kesehatan mental dan jantung. Akses terhadap olahraga, makanan sehat, serta intervensi untuk mengurangi isolasi sosial harus diperluas.

Karena beban ini tidak merata, prinsip kesetaraan harus dijadikan pijakan utama dalam perbaikan sistem. Perawatan yang sensitif terhadap budaya, program berbasis komunitas, dan kebijakan yang mengurangi hambatan biaya akan memberi dampak terbesar.

Secara keseluruhan, temuan ini menyoroti bahwa krisis kesehatan mental dan penyakit jantung tidak bisa lagi ditangani secara terpisah. Keduanya saling berkaitan dan memperpendek usia jutaan orang secara diam-diam.

Dengan mengintegrasikan perawatan, memperluas akses, dan menghapus stigma, penurunan harapan hidup ini bukan lagi takdir yang harus diterima. Sebaliknya, ini adalah kegagalan sistem yang bisa dan harus diperbaiki. (*)

Sumber: Earth

KEYWORD :

Ganguan Mental Harapan Hidup Penyakit Jantung Depresi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :