Kamis, 28/08/2025 00:13 WIB

Dalam Islam, Mengkritik Pemimpin Itu Boleh-Dianjurkan, Bagaimana dengan Demonstrasi?

Seorang mahasiswa GMNI Unas, Maruf menyampaikan orasi dalam unjuk rasa peringatan Hari Buruh atau Mayday 2025 di depan Gedung DPR RI, Jakarta (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Dalam tradisi Islam, kritik terhadap pemimpin bukanlah bentuk pemberontakan atau suul adab. Justru, ia merupakan bagian dari nilai keagamaan yang sangat dijunjung, selama disampaikan dengan niat baik, cara yang etis, serta demi kemaslahatan atau keadilan.

Kritik dalam Islam dimaknai sebagai nasihat. Bahkan, nasihat kepada pemimpin dianggap sebagai bagian dari pondasi agama.

Nabi Muhammad SAW bersabda: "الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ"
"Agama adalah nasihat." Kami bertanya, "Untuk siapa?" Beliau menjawab, "Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim)

Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, hadits ini menunjukkan bahwa memberi nasihat kepada pemimpin bukan hanya dibolehkan, tapi merupakan bagian dari ajaran Islam yang sangat mendasar. Imam Nawawi dikutip Al-Munawi dalam kitaFaydhul Qadir bahkan menyebut seluruh ajaran Islam berporos pada hadits ini.

Karena itu, generasi awal umat Islam memandang nasihat sebagai bentuk kepedulian. Bahkan, menurut penjelasan Al-Munawi, kewajiban memberi nasihat tetap berlaku meski si penerima belum tentu mau mendengarkan.

Ia menegaskan bahwa siapa yang menerima nasihat akan terhindar dari cela dan kerugian. Sebaliknya, yang menolaknya tidak punya alasan untuk menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri.

Sikap ini tercermin jelas dalam kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang selalu membuka ruang dialog. Sejarah mencatat bagaimana beliau mendengarkan kritik dan tawaran dari tokoh-tokoh Quraisy tanpa pernah bersikap represif.

Salah satu kisah paling mencolok adalah pertemuan antara Nabi dan Utbah bin Rabi`ah, sebagaimana dicatat dalam Sirah Ibnu Hisyam. Ketika Utbah menyampaikan kritik dan tawaran kompromi kepada Rasulullah, beliau mendengarkannya hingga tuntas, tanpa menyela sedikit pun.

Utbah menyodorkan beragam pilihan: harta, kekuasaan, bahkan pengobatan, dengan harapan Nabi menghentikan dakwahnya. Namun Rasulullah menjawab dengan membacakan wahyu dari awal surah Fussilat yang kemudian menyentuh hati Utbah.

"Ha Mim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui…" hingga ayat ke-5, lalu beliau bersujud. Setelah itu, beliau berkata, “Engkau telah mendengar, wahai Abu Al-Walid, maka kini terserah kepadamu.”

Respons Rasulullah mencerminkan bahwa pemimpin dalam Islam bukan figur otoriter. Beliau memilih mendengarkan, membalas dengan kebenaran, lalu memberi ruang kepada lawan bicara untuk mencerna tanpa paksaan.

Sikap terbuka terhadap masukan ini juga dicontohkan Umar bin Khattab ketika menjabat sebagai khalifah. Ia bahkan mendoakan siapa saja yang menunjukkan kesalahan dirinya.

Umar berkata:
"رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً أَهْدَى إِلَيَّ عُيُوبِي"
"Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan kepadaku kekuranganku."

Tak hanya itu, dalam satu riwayat, seorang rakyat berkata langsung kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah, wahai Umar.” Sebagian orang menganggap itu tidak sopan, tetapi Umar justru berkata, “Biarkan dia. Kita akan selalu berada dalam kebaikan selama hal ini dikatakan kepada kita.”

Sikap Umar mempertegas bahwa dalam Islam, kritik bukanlah pelecehan terhadap wibawa pemimpin. Sebaliknya, ia adalah jalan untuk menjaga integritas kekuasaan agar tetap berpihak pada keadilan.

Karena itu, nasihat dan kritik bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Ia justru menjadi salah satu pilar yang menjaga stabilitas umat dan memperbaiki jalannya pemerintahan.

Pemimpin, seberapa tinggi pun jabatannya, tetap manusia yang bisa salah. Maka ia membutuhkan pengingat, bukan hanya dari penasihat resmi, tetapi juga dari masyarakat yang peduli.

Dalam konteks negara demokrasi, suara rakyat menjadi kontrol terhadap kekuasaan agar tidak melenceng dari amanah. Islam, jauh sebelum sistem demokrasi lahir, telah memberikan ruang yang sah untuk fungsi kontrol ini.

Namun pertanyaannya, bagaimana Islam memandang aksi demonstrasi yang kerap dilakukan masyarakat untuk menyuarakan kritik terhadap pemimpin?

Sebagaimana kritik lisan atau tulisan, demonstrasi juga merupakan ekspresi dari nasihat dan kontrol rakyat terhadap kekuasaan, jika dilakukan dengan cara yang benar.

Dalam konteks negara demokrasi, demonstrasi merupakan salah satu sarana menyampaikan pendapat yang dijamin oleh hukum. Islam sendiri tidak melarang bentuk penyampaian pendapat di ruang publik selama tidak melanggar nilai-nilai syariat. (*)

Wallahu`alam

KEYWORD :

Kritik dalam Islam Demonstrasi kritik aksi demo nasihat




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :