Rabu, 27/08/2025 20:26 WIB

Iwakum Gugat Pasal 8 UU Pers, Minta MK Pertegas Perlindungan Wartawan

Sebagai wadah bagi para wartawan hukum iwakum berpendapat bahwa anggotanya berpotensi  mengalami kriminalisasi akibat pemberitaan atau investigasi yang mereka lakukan. Iwakum berpandangan bahwa Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 tentang Pers bersifat multitafsir.

Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) mengajukan uji materi terhadap Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ke Mahkamah Konstitusi (MK). (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) mengajukan uji materi terhadap Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini terdaftar dengan nomor perkara nomor 145/PUU-XXIII/2025.

Dalam sidang perdana pemeriksaan pendahuluan yang digelar di Gedung MK, Rabu (27/8), koordinator tim hukum Iwakum, Viktor Santoso Tandiasa menyampaikan pihaknya mengajukan pengujian Pasal 8 dan penjelasan Pasal 8 UU Pers bertentangan dengan UUD 1945.

“Kami mengajukan Pasal 8 dan bagian penjelasan Pasal 8 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945,” kata Viktor dalam sidang.

Sekretaris Jenderal Iwakum Ponco Sulaksono mengatakan Iwakum memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini karena memenuhi syarat sebagai badan hukum privat. Iwakum terdaftar sebagai badan hukum perkumpulan yang disahkan Keputusan Menteri Hukum Nomor AHU 000743 Tahun 2025.

Ponco menjelaskan bahwa Iwakum menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang sedang diuji, kerugian ini dianggap spesifik, aktual, atau setidaknya potensial dapat dipastikan akan terjadi.

“Sebagai wadah bagi para wartawan hukum iwakum berpendapat bahwa anggotanya berpotensi  mengalami kriminalisasi akibat pemberitaan atau investigasi yang mereka lakukan. Iwakum berpandangan bahwa Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 tentang Pers bersifat multitafsir,” kata Ponco.

Sementara itu Ketua Umum Iwakum Irfan Kamil mengatakan Pasal 8 dan penjelasan Pasal 8 UU Pers masih menyisakan masalah mendasar. Menurutnya, rumusan pasal tersebut alih-alih memberikan kepastian justru menimbulkan ketidakjelasan yang berpotensi merugikan wartawan dalam menjalankan tugasnya.

“Oleh karena itu pemohon berpendapat kedua norma tersebut bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-undang Dasar 1945,” kata Kamil.

Dia mengatakan ketiadaan pengaturan yang tegas dalam UU Pers ini membuka peluang kriminalisasi dan kesewenang-wenangan terhadap wartawan.

Ia mencontohkan kriminalisasi terhadap wartawan Muhamad Asrul di Kota Palopo, Sulawesi Selatan yang menulis pemberitaan terkait dugaan kasus korupsi Farid Judas Karim, salah satu anak wali kota Palopo pada 2019 lalu. Majelis PN Palopo menjatuhkan vonis bersalah kepada Arsul dengan pidana penjara 3 bulan penjara pada 23 November 2021.

Kamil menyebut bahwa Dewan Pers telah menyatakan bahwa berita yang ditulis Arsul sebagai produk jurnalistik, laporan terhadap Arsul yang dianggap melanggar UU ITE tetap diproses dan diadili dengan pidana 3 bulan penjara.

Ia juga menyinggung kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan aparat kepolisian atau TNI saat meliput demonstrasi. Terbaru sejumlah wartawan mengalami kekerasan fisik dan perusakan alat kerja ketika meliput aksi di depan Gedung MPR/DPR pada Senin 25 Agustus lalu.

“Situasi ini menciptakan efek gentar membuat wartawan takut mengungkap kasus sensitif seperti korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Padahal hak atas perlindungan diri, kehormatan, martabat, dan rasa aman merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” ujarnya.

Koordinator hukum Iwakum Viktor Santoso menambahkan menjadi sangat beralasan menurut hukum apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Norma Pasal 8 UU 40/1999 dan Penjelelasannya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945.

Oleh karena itu, Viktor memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk berkenan memutus:

1. Mengabulkan permohonan PARA PEMOHON untuk seluruhnya.

2. Menyatakan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3887) bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai:

Tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan kepada Wartawan dalam melaksanakan profesinya sepanjang berdasarkan kode etik pers.

atau,

Dalam menjalankan Profesinya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers.

3. Menyatakan Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3887) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

“Atau, Apabila Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono),” ujar Viktor.

Majelis Hakim MK yang terdiri dari ketua Suhartoyo dan anggota masing-masing Daniel Yusmic P. Foekh dan Guntur Hamzah memberikan sejumlah catatan terhadap permohonan uji materi Pasal 8 dan penjelasan Pasal 8 UU Pers ini. Sidang selanjutnya digelar pada 9 September 2025.

 

 

 

KEYWORD :

Iwakum UU Pers Mahkamah Konstitusi MK Ponco Sulaksono




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :