
Ilustrasi - Nyaman di Dalam Ruangan? Ternyata Lebih Dipengaruhi oleh Kulit Anda daripada Suhu Udara (Foto: Pexels/Cottonbro studio)
Jakarta, Jurnas.com - Kulit manusia ternyata punya peran lebih besar dalam menentukan kenyamanan suhu di dalam ruangan dibandingkan suhu udara itu sendiri. Sebuah tinjauan global terhadap 172 studi ilmiah membuktikan bahwa suhu kulit berkaitan erat dengan bagaimana seseorang merasakan kenyamanan termal.
Temuan ini dipimpin oleh Profesor John Kaiser Calautit dari University of Nottingham, yang menyebut bahwa suhu kulit merupakan indikator utama dalam membaca rasa panas atau dingin. Saat kulit mengirimkan sinyal ke otak, respons itu sejalan dengan bagaimana seseorang melaporkan rasa nyaman atau tidaknya.
Selama ini, sistem pengaturan suhu dalam bangunan banyak mengandalkan parameter seperti suhu udara, kelembapan, ventilasi, atau jenis pakaian yang dikenakan. Namun pendekatan ini kerap gagal menjelaskan mengapa dua orang di ruangan yang sama bisa merasakan suhu yang berbeda.
Dalam studi tersebut, suhu kulit rata-rata atau mean skin temperature (MST) menjadi pusat perhatian karena mampu merangkum kondisi tubuh secara keseluruhan dalam satu angka. Angka ini naik atau turun sejalan dengan sensasi termal yang dirasakan, sehingga berguna dalam merancang ruang yang lebih adaptif dan sehat.
Area tubuh seperti wajah dan tangan dinilai paling akurat dalam memantau kenyamanan karena keduanya sensitif dan jarang tertutup pakaian tebal. Selain itu, pendinginan lokal pada bagian seperti punggung atau dada terbukti lebih efektif dibandingkan pemanasan pada satu titik kecil.
Kondisi ini berkaitan dengan distribusi reseptor dingin yang lebih banyak di lapisan luar kulit, serta respons aliran darah yang cepat terhadap perubahan suhu. Oleh karena itu, strategi pendinginan lokal lebih menjanjikan dalam meningkatkan kenyamanan tanpa perlu menurunkan suhu ruangan secara menyeluruh.
Namun, kenyamanan termal bersifat individual dan tidak bisa disamaratakan untuk semua orang. Studi ini menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin, dan latar belakang iklim sangat memengaruhi sensitivitas terhadap suhu.
Orang lanjut usia cenderung kurang peka terhadap suhu panas, sehingga lebih berisiko mengalami overheating saat cuaca ekstrem. Sementara itu, banyak perempuan melaporkan sensasi suhu yang lebih intens, meskipun hasil ini masih menunjukkan variasi.
Asal-usul geografis juga memainkan peran penting karena orang yang tumbuh di daerah panas menunjukkan respons termal yang berbeda dibandingkan mereka yang berasal dari wilayah dingin. Maka dari itu, model kenyamanan harus mempertimbangkan faktor-faktor ini dan tidak mengandalkan satu rumus tunggal.
Seiring perkembangan teknologi, para peneliti mulai membangun model kenyamanan personal berbasis data fisiologis dari sensor wearable. Sensor yang dipasang di pergelangan tangan atau kaki, ditambah detak jantung, mampu memprediksi tingkat kenyamanan seseorang dengan akurasi tinggi.
Bahkan, kamera termal dan sistem pengenalan wajah kini mulai digunakan untuk memperkirakan suhu kulit secara otomatis tanpa perlu interaksi langsung. Jika dirancang dengan bijak, sistem ini bisa menjaga kenyamanan penghuni bangunan tanpa menyimpan data pribadi yang sensitif.
Metode ini memungkinkan pengendalian suhu yang bersifat pasif, otomatis, dan lebih efisien dalam penggunaan energi. Selain itu, pengukuran suhu kulit dari wajah pun terbukti dapat mengklasifikasikan kondisi termal seseorang hanya dengan sedikit sensor.
Penerapan kecerdasan buatan juga memperkuat sistem ini karena model machine learning mampu memetakan pola kenyamanan berdasarkan beberapa titik pengukuran tubuh. Hasilnya, sistem bangunan masa depan bisa menyesuaikan suhu berdasarkan respons biologis, bukan hanya masukan manual dari penghuni.
Sayangnya, sebagian besar bangunan modern masih mengandalkan metode tradisional seperti Predicted Mean Vote yang dikembangkan puluhan tahun lalu. Padahal, dalam basis data global, akurasi metode ini hanya sekitar sepertiga dalam mencerminkan kenyamanan nyata penghuni.
Integrasi data suhu kulit ke dalam sistem kontrol bangunan menjanjikan kenyamanan yang lebih personal, hemat energi, dan inklusif bagi kelompok rentan. Pendekatan ini juga mampu mengurangi ketimpangan, terutama bagi anak-anak, lansia, atau individu dengan keterbatasan komunikasi.
Di sisi lain, wearable seperti jam pintar sudah mulai mengukur suhu kulit untuk memantau kualitas tidur, stres, dan pemulihan tubuh. Dengan persetujuan pengguna dan perlindungan data yang tepat, informasi ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengatur suhu ruangan secara otomatis.
Misalnya, rumah dapat mendinginkan kamar tidur sebelum penghuni tiba, atau menghangatkan ruang kerja saat suhu tangan mulai menurun. Di fasilitas kesehatan, tren suhu kulit dapat digunakan staf untuk mendeteksi risiko stres panas lebih cepat pada pasien.
Ke depan, pendekatan ini dapat membantu para insinyur merancang sistem pengendalian suhu yang lebih sederhana dan tenang, tanpa harus bergantung pada AC besar atau ventilasi bising. Misalnya, sandaran kursi yang dingin bisa lebih efektif daripada meniupkan udara dingin ke kaki.
Semua temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Energy and Built Environment, yang menandai langkah penting menuju desain ruang yang lebih manusiawi. Dengan memahami tubuh manusia sebagai indikator kenyamanan, kita bergerak menuju bangunan yang lebih cerdas, efisien, dan adaptif terhadap kebutuhan nyata penghuninya. (*)
Sumber: Earth
KEYWORD :Suhu kulit kenyamanan termal sensor wearable mean skin temperature