
Ilustrasi gas air mata (Foto: Kimia Fmipa)
Jakarta, Jurnas.com - Gas air mata kerap digunakan aparat keamanan untuk membubarkan massa saat unjuk rasa berubah ricuh, seperti yang terjadi pada aksi demo 25 Agustus 2025 di sekitar gedung DPR RI, Jakarta. Namun efeknya yang menyengat, mulai dari mata perih hingga napas sesak, sering kali menimbulkan pertanyaan: apa sebenarnya kandungan di dalamnya?
Menurut American Lung Association, gas air mata mengandung sejumlah bahan kimia iritan seperti chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA), chloroacetophenone (CN), dan dibenzoxazepine (CR). DIkutip dari laman Klikdokter, seluruh zat ini bekerja menyerang selaput lendir di mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru.
Paparan terhadap bahan-bahan tersebut memicu respons tubuh secara otomatis. Mata akan berair hebat, tenggorokan terasa panas, dan dada seperti tertekan dari dalam.
Kondisi itu terjadi karena senyawa aktif dalam gas air mata mengaktifkan reseptor saraf TRPA1 yang bertugas mendeteksi zat berbahaya. Sistem saraf lalu menganggap tubuh sedang dalam bahaya, sehingga memicu batuk, bersin, dan iritasi hebat sebagai bentuk pertahanan.
Efek yang dirasakan biasanya bersifat sementara, namun tidak selalu ringan. Pada individu dengan asma atau gangguan paru-paru, paparan dapat memicu serangan serius hingga membahayakan nyawa.
Masalahnya, gas air mata kerap kali ditembakkan dalam volume besar atau di lokasi yang tidak ideal, seperti ruang tertutup. Hal ini memperparah dampak karena konsentrasi bahan kimia meningkat dan sulit untuk dihindari.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia telah menyuarakan kekhawatiran atas penggunaan gas air mata yang tidak sesuai protokol. Risiko keracunan dan kematian tetap ada, meski gas ini digolongkan sebagai senjata non-mematikan.
Meski begitu, gas air mata masih dianggap sebagai alat pengendalian massa yang efektif karena cepat, murah, dan bisa menjangkau area luas. Itulah sebabnya penggunaannya masih marak, terutama di negara-negara yang belum memiliki regulasi ketat.
Namun penggunaan gas air mata seharusnya mempertimbangkan aspek keselamatan publik, bukan hanya keamanan. Tanpa kontrol dan pengawasan, alat ini justru bisa menjadi senjata yang mematikan dalam situasi tertentu.
Tragedi-tragedi seperti di Kanjuruhan menjadi pengingat bahwa penggunaan zat kimia dalam konteks penertiban massa tak bisa dianggap sepele. Risiko kesehatan jangka pendek maupun panjang harus menjadi perhatian utama dalam kebijakan pengamanan. (*)
KEYWORD :Gas air mata efek gas air mata demo Unjuk rasa sesak nafas