
Ilustrasi - Mengapa Bulan Rabiul Awal Disebut Bulan Mulud di Jawa? Ini Penjelasannya (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Rabiul Awal merupakan salah satu bulan dalam kalender Hijriah yang memiliki kedudukan istimewa. Bulan ini dikenal sebagai bulan ketiga dalam kalender Hijriah, setelah Muharram dan Safar. Namun, masyarakat Jawa memiliki penyebutan khusus untuk bulan ini, yakni "bulan Mulud".
Sebutan ini bukan tanpa alasan. Istilah "Mulud" berasal dari kata Arab Maulid yang berarti kelahiran, merujuk pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, manusia paling mulia dalam sejarah Islam, yang jatuh pada bulan ini.
Bagi umat Muslim, peristiwa ini menjadi sumber kegembiraan sekaligus pengingat akan hadirnya sosok yang membawa cahaya ke seluruh penjuru dunia. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Ayat ini menunjukkan bahwa kehadiran Nabi Muhammad bukan hanya penting bagi umat Islam, tetapi juga bagi seluruh semesta.
Dalam tradisi Islam di Nusantara, terutama di Jawa, Rabiul Awal begitu istimewa karena menjadi momentum untuk mengenang kelahiran Rasulullah. Oleh sebab itu, bulan ini secara turun-temurun disebut sebagai bulan Mulud.
Merujuk kalender Hijriah 1447 H yang dirilis Kementerian Agama RI, 1 Rabiul Awal 1447 jatuh pada Senin, 25 Agustus 2025. Sementara itu, peringatan Maulid Nabi Muhammad atau 12 Rabiul Awal diperkirakan berlangsung pada Jumat, 5 September 2025.
Penetapan tanggal ini menjadi penting karena masyarakat di berbagai daerah mulai bersiap menggelar beragam tradisi keagamaan yang telah menjadi bagian dari budaya lokal. Tradisi tersebut tidak hanya bernilai spiritual, tetapi juga merekatkan harmoni sosial.
Di tanah Jawa, perayaan Muludan sudah berlangsung sejak masa awal Islam berkembang di Nusantara. Kesultanan Demak dan Mataram Islam tercatat sebagai pelopor tradisi Maulid yang dipadukan dengan kearifan lokal.
Ritual seperti Grebeg Mulud di Yogyakarta dan Surakarta serta Panjang Jimat di Cirebon menjadi bukti akulturasi yang hidup hingga hari ini. Selain itu, pengajian, pembacaan Barzanji, dan sholawatan massal juga menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana bulan Mulud.
Namun, yang membuat bulan ini begitu mulia bukan hanya tradisinya. Dalam kitab adz-Dzakhâir al-Muhammadiyyah, Sayyid Muhammad ibn Alawi al-Maliki menyebut bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menjadi mulia karena waktu, tetapi waktu itulah yang menjadi mulia karena kelahiran beliau.
Pernyataan ini memperkuat pemahaman bahwa bulan Rabiul Awal memperoleh kehormatan karena menjadi saksi lahirnya manusia paling agung dalam sejarah Islam. Dari sinilah masyarakat Muslim memuliakan bulan ini sebagai bentuk cinta kepada Rasulullah.
Penyebutan Mulud bukan sekadar soal bahasa, tetapi juga menyiratkan penghormatan mendalam terhadap sosok Nabi Muhammad SAW. Sebutan ini tumbuh dari kesadaran kolektif masyarakat Jawa bahwa kelahiran Nabi adalah momentum suci yang patut dikenang sepanjang zaman.
Melalui perayaan Maulid, ajaran dan keteladanan Rasulullah kembali dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi yang terus dijaga ini menjadi jembatan antara nilai spiritual dan budaya lokal yang harmonis.
Dengan mendekatnya 12 Rabiul Awal pada tahun ini, masyarakat kembali bersiap menyambut bulan Mulud dengan semarak dan penuh khidmat. Lebih dari sekadar seremoni, peringatan Maulid menjadi ruang bagi umat untuk memperbarui cinta kepada Nabi dan meneladani akhlaknya. (*)
KEYWORD :Bulan Rabiul Awal Bulan Mulud Kalender Jawa Tradisi Muludan