
Ilustrasi Koruptor (Foto: Pexels/Tima Miroshnichenko)
Jakarta, Jurnas.com - Praktik korupsi kembali menampar wajah pemerintahan. Baru-baru ini, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer alias Noel, terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penangkapan itu dilakukan atas dugaan pemerasan terhadap sejumlah perusahaan dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau K3. Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, menyatakan bahwa penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi menjadi titik awal pengusutan.
Kasus ini menambah daftar panjang pejabat publik yang terjerat skandal korupsi. Di saat yang sama, ia juga menggambarkan betapa rapuhnya integritas sebagian elite negara.
Namun dalam kacamata Islam, korupsi bukan hanya kejahatan hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap amanah rakyat dan perintah Allah. Dikutip dari berbagai sumber, tindakan ini tergolong dalam ghulul atau penggelapan harta bersama yang diharamkan secara tegas dalam syariat.
Al-Qur’an dalam Surah Ali Imran ayat 161 menyebutkan bahwa siapa pun yang berkhianat akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan membawa hasil khianatnya. Harta itu akan menjadi saksi yang membungkam, bukan pelindung dari hukuman akhirat.
Kemenag Gelar Blissful Mawlid, Ada Nikah Fest
Oleh karena itu, korupsi dalam Islam bukan sekadar pelanggaran, melainkan dosa besar yang balasannya mencakup dunia dan akhirat. Azabnya disebutkan dalam banyak hadis Rasulullah SAW, terutama terkait azab kubur yang mengerikan.
Setiap suapan dari harta haram yang dikonsumsi akan berubah menjadi bara api di akhirat. Bahkan, kubur koruptor akan disempitkan dan dihuni jeritan-jeritan rakyat yang dizalimi olehnya.
Peringatan ini berlaku lebih keras kepada para pejabat publik. Sebab, dalam Islam, setiap pemimpin akan ditanya tentang amanah yang diembannya, termasuk sejauh mana ia menjaga hak rakyat.
Lebih jauh, Islam juga melaknat rantai suap yang menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik korupsi. Dalam hadis riwayat Tirmidzi, disebutkan bahwa Allah melaknat pemberi dan penerima suap tanpa kecuali.
Artinya, siapa pun yang terlibat, baik sebagai pelaku utama atau perantara, akan mendapat bagian dari murka Tuhan. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam tak hanya melihat hasil, tetapi juga proses terjadinya kebusukan.
Akibat dari perilaku ini tidak berhenti di dunia. Ulama menyebut, koruptor akan dihalangi mencium bau surga yang bisa tercium dari jarak perjalanan ratusan tahun.
Peringatan itu bukan isapan jempol, melainkan bentuk peringatan spiritual agar manusia tidak tergoda oleh kenikmatan semu. Karena di balik harta haram, terdapat jerat yang bisa menarik pelakunya ke jurang siksa abadi.
Ketika seorang pejabat mengkhianati jabatannya, maka ia sedang merusak kepercayaan publik sekaligus menantang hukum Tuhan. Nabi Muhammad SAW dengan tegas menyatakan bahwa pemimpin zalim akan menjadi musuh Allah di hari kiamat.
Pernyataan ini mengandung makna bahwa jabatan bukan alat kekuasaan, melainkan ujian berat yang kelak dimintai pertanggungjawaban. Semakin tinggi posisi, semakin besar pula hisab yang akan diterima.
Penegakan hukum memang perlu terus dilakukan, namun tak kalah penting adalah pembangunan kesadaran iman dan moral. Kesadaran bahwa setiap tindakan di dunia akan dipertontonkan kembali di hadapan Tuhan, di hari pengadilan yang sebenarnya.
Kasus OTT terhadap pejabat tinggi seharusnya menjadi cermin, bukan sekadar kabar lalu yang mudah dilupakan. Ia menjadi pengingat bahwa korupsi bukan hanya soal moralitas, tapi juga urusan antara manusia dan Tuhan.
Dalam konteks ini, agama menjadi pagar terakhir saat sistem hukum kehilangan taringnya. Karena tak ada jaksa, hakim, atau lembaga antirasuah yang lebih teliti daripada pengawasan Allah SWT.
Maka siapa pun yang hari ini memegang amanah publik, hendaknya menjauhi harta haram sejauh-jauhnya. Sebab azab tidak datang tiba-tiba, tapi pasti menghampiri saat manusia merasa dirinya tak akan tersentuh. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Azab Koruptor Islam Korupsi Hukuman koruptor dalam Islam