
Ekonom dan Rektor Universitas Paramadina Jakarta Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D. Foto: paramadina/jurnas
JAKARTA, Jurnas.com - Ekonom dan juga Rektor Universitas Paramadina Jakarta Prof. Didik J Rachbini menuilai narasi mengambil alih secara paksa PT Bank Central Asia, Tbk (BCA) oleh pemerintah dinilai sebagai ide yang berbahaya dan tidak waras.
Hal ini disampaikan Prof. Didik menanggapi usulan dari DPR dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) agar pemerintah mengambil alih paksa saham 51 persen BCA.
“Tidak ada angin, tidak ada sebab, tiba-tiba ada narasi dan usul yang datang dari partai politik (PKB) dan DPR agar pemerintah mengambil alih paksa saham BCA,” kata Prof. Didik.
Prof. Didik mengatakan, dde “hostile take over” seperti ini jika digiring ke politik dan kekuasaan sangat berbahaya karena jika diteruskan sistem ekonomi politik Indonesia akan rusak dan menjadi hutan rimba, yang menyesatkan.
Semestinya, kata Prof. Didik, ide tersebut tidak perlu dindahkan oleh presiden karena akan merusak tatanan perbankan.
Menurutnya, setelah restrukturisasi yang melelahkan dan bahkan menyakitkan,. Kondisi perbankan sebenarnya sudah bertransformasi cukup kuat. Ini merupakan kebijakan sistem keuangan dan perbankan pasca reformasi.
“Narasi sesat yang bergulir ini akan merusak sistem yang sudah berkembang baik selama ini,” tegasnya.
Ia mengingatkan, krisis nilai tukar pada tahun 1998 menghancurkan perbankan yang sangat rapuh ketika itu. Namun krisis merupakan cambuk untuk memberbaiki tatanan perbankan melalui restrukturisasi dan perbaikan arsitektur kelembagaan perbankan agar semakin kuat.
Hasilnya Prof. Didik menilai cukup baik dan sangat mengesankan. Krisis hebat ekonomi global tahun 2008 pasar modal ambruk lebih buruk daripada tahun 1998. Namun perbankan sudah lebih kuat dan tahan terhadap guncangan krisis tersebut. Krisis covid 2019 juga menguncang ekonomi dunia, tetapi perbankan tetap tegak berdiri, meskipun LAR-nya naik dua kali lipat. Begitu covid usai perbanknan normal kembali.
“Kini ada ide sesat, tidak wajar dan bisa dianggap tidak waras untuk mengusik dunia perbankan agar bank swasta diambil alih oleh negara. Jika ini dilakukan, maka kepercayaan pasar akan runtuh. Bank tidak akan dipercaya dan tidak bakal ada yang menyarankan investasi di BCA lagi. Saham BCA dipercaya publik karena pengelolaannya baik dan mutlak harus transparan karena merupakan bank publik,” ujarnya.
Bagaimana pun, kata Prof. Didik, kinerja BCA (termasuk Bank Himbara) harus dilihat sebagai pencapaian dalam sistem keuangan dan perekonomian nasional. Bank BCA (termasuk Bank Himbara) telah menjadi pilar perekonomian dan semestinya jangan diganggu.
Kontribusinya terhadap perekonomian nasional sangat signifikan, baik dalam pertumbuhan kredit, mendorong dunia usaha secara luas, membayar pajak besar sekali, kinerjanya lebih baik dari bank lainnya dan sekaligus berperan sebagai pilar perekonomian nasional.
Menurutnya, dde dan narasi beruntun mengambil alih saham BCA tanpa sebab merupakan tindakan anarkhi politik kebijakan. Karena datang dari partai politik, maka ini alarm bahaya bagi iklim dan ekosistem perekonomian nasional. Bukan tidak mungkin pasar melihat di dalam negara ada bandit-bandit untuk memberangus pasar dan pelaku ekonomi.
Beruntung, lanjut Prof. Didik, ada angin segar dari Rosan Perkasa Roeslani (CEO Danantara), sudah menanggapi dengan tegas tidak ada ide dari Danantara dan pemerintah yang mendorong Danantara untuk ‘mengambil paksa’ 51 persen saham BCA tersebut.
Rosan membantah rumor tersebut dan menegaskan kembali Danantara tidak memiliki rencana untuk mengakuisisi saham mayoritas BCA.
“Ketegasan seperti ini penting untuk menghalau bandit-bandit pemburu rente, yang menghembuskan narasi sesat tersebut. Negara harus menjaga dan membangun pasar yang sehat, mendorong pertumbuhan dunia usaha yang kuat - bukan sebaliknya masuk ke dalam pasar, ikut campur tangan secara tidak bermutu, yang kemudian merusaknya,” pungkas Prof. Didik.
KEYWORD :
Saham BCA Ambil Alih Danantara Prof Didik