
Ilustrasi sedang menjalin pertemanan (Foto: Pexels/PNW Production)
Jakarta, Jurnas.com - Mengapa kita bisa merasa langsung cocok dengan seseorang yang baru dikenal, sementara dengan orang lain hubungan terasa canggung meski sudah lama bersama? Jawaban dari pertanyaan itu ternyata bisa ditemukan di dalam aktivitas otak.
Dilansir dari laman Earth, sebuah studi dari University of California, Los Angeles menunjukkan bahwa orang yang otaknya merespons dunia dengan cara serupa cenderung lebih mudah menjadi teman dekat. Sebelum percakapan terjadi, otak mereka mungkin sudah lebih dulu “selaras”.
Kecenderungan manusia untuk berkumpul dengan orang yang berpikiran serupa dikenal dengan istilah homofili. Ini menjelaskan mengapa teman-teman sering kali memiliki selera humor, nilai, atau minat yang mirip.
Namun para peneliti penasaran, apakah kesamaan ini terbentuk karena pertemanan, atau justru orang mencari mereka yang sudah mirip secara alami? Untuk menjawabnya, tim yang dipimpin Carolyn Parkinson melakukan eksperimen unik sebelum para peserta sempat menjalin hubungan apa pun.
Sebanyak 41 mahasiswa baru diminta masuk ke mesin pemindai otak sebelum masa kuliah dimulai. Di dalamnya, mereka menonton 14 klip video yang beragam, mulai dari dokumenter hingga komedi.
Status Persahabatan Taylor Swift dan Blake Lively Terungkap saat Justin Baldoni Cabut Panggilan Pengadilan
Selama itu, aktivitas 214 bagian otak mereka dipantau untuk merekam bagaimana mereka memperhatikan, merespons, dan memaknai tayangan tersebut. Hasilnya adalah semacam “sidik jari neural” yang unik untuk setiap individu.
Delapan bulan kemudian, setelah hubungan sosial mulai terbentuk, peneliti memetakan jaringan pertemanan dari 288 mahasiswa di program yang sama. Hasil survei dua dan enam bulan setelahnya memperlihatkan siapa yang jadi dekat, menjauh, atau tidak terhubung sama sekali.
Ketika hasil itu dibandingkan dengan data otak awal, muncul pola yang mengejutkan. Mereka yang akhirnya menjadi teman dekat ternyata memiliki kemiripan respons otak sejak sebelum saling mengenal.
Kesamaan paling kuat ditemukan di orbitofrontal cortex, bagian otak yang berperan dalam memberi makna dan nilai pada pengalaman. Ini mengindikasikan bahwa kedekatan emosional mungkin berakar dari cara berpikir yang mirip.
Meski begitu, pada bulan kedua tidak tampak perbedaan signifikan antara teman dan bukan teman. Artinya, pertemanan awal lebih dipengaruhi oleh kedekatan fisik atau kegiatan yang sama.
Namun seiring waktu, faktor itu mulai tersisih oleh kesamaan kognitif yang lebih dalam. Orang-orang yang otaknya merespons dunia secara serupa akhirnya menjadi lebih dekat.
Secara keseluruhan, mereka yang menjadi teman menunjukkan kesamaan di 42 bagian otak. Area-area ini terlibat dalam memusatkan perhatian, memahami cerita, dan menempatkan diri dalam perspektif orang lain.
Menariknya, kemiripan ini tetap ada meskipun preferensi pribadi terhadap video-video yang ditonton berbeda. Ini menguatkan dugaan bahwa pertemanan sejati bukan hanya soal selera, tapi soal pola pikir yang lebih mendalam.
Parkinson menjelaskan bahwa faktor sosial-demografis hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena ini. Persahabatan tampaknya lebih ditentukan oleh cara otak menyatukan kenangan, emosi, dan keyakinan.
Dari sinilah muncul gagasan bahwa otak kita bisa menjadi semacam kompas sosial. Tanpa kita sadari, kita tertarik pada orang-orang yang memproses dunia dengan cara yang mirip.
Robin Dunbar dari University of Oxford, yang tidak terlibat dalam studi ini, menyebut temuan tersebut sebagai sesuatu yang sudah lama diperkirakan. Baginya, orang tidak serta-merta jadi mirip karena sering bersama, tetapi justru menjadi teman karena memang sudah mirip sejak awal.
Namun, studi ini juga mengakui bahwa kondisi sosial tetap berperan pada awalnya. Pertemanan bisa saja dimulai karena kebetulan, tetapi hanya yang didasari kecocokan mendalam yang akan bertahan.
Faktor seperti usia, jenis kelamin, atau latar akademik memang memengaruhi, tapi tidak cukup untuk menjelaskan kedekatan itu sepenuhnya. Bahkan jika dua orang berasal dari latar belakang yang sangat berbeda, mereka bisa tetap jadi sahabat jika otaknya “berpikir” dengan cara yang sama.
Dengan begitu, studi ini memberikan pemahaman baru bahwa pertemanan sejati bukan hanya soal kesamaan minat atau kebiasaan. Melainkan soal kesamaan dalam cara otak merasakan, menilai, dan menginterpretasi dunia.
Temuan ini dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature Human Behaviour. Dan dari situ kita bisa belajar, mungkin rasa “klik” yang kita rasakan pada seseorang bukanlah kebetulan—melainkan cerminan dari bagaimana otak kita bekerja secara diam-diam. (*)
KEYWORD :Persahabatan Teman sejati berpikiran serupa Homofili