Sabtu, 16/08/2025 19:29 WIB

Ketika Sukarni dkk "Culik" Sukarno Hatta ke Rengasdengklok 16 Agustus 1945

Tanggal 16 Agustus 1945 menjadi saksi salah satu momen paling dramatis dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Dua tokoh penting, Soekarno dan Mohammad Hatta atau Sukarno Hatta,

Ilustrasi - Ketika Sukarni dkk Culik Sukarno Hatta ke Rengasdengklok 16 Agustus 1945 (Foto: Ceknricek)

Jakarta, Jurnas.com - Tanggal 16 Agustus 1945 menjadi saksi salah satu momen paling dramatis dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Dua tokoh penting, Soekarno dan Mohammad Hatta atau Sukarno Hatta, "diculik" oleh para pemuda yang dipimpin oleh Soekarni Kartodiwirjo atau Sukarni ke Rengasdengklok, Karawang, demi satu tujuan: mempercepat proklamasi kemerdekaan.

Dikutip dari berbagai sumber, kala itu, Jepang baru saja menyatakan menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II. Bagi golongan muda, ini adalah waktu emas untuk memutuskan nasib bangsa — tanpa campur tangan Jepang maupun tekanan dari pihak luar.

Namun sikap hati-hati dari Sukarno Hatta yang menunggu proses resmi lewat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), justru membuat para pemuda resah. Mereka menilai kemerdekaan harus diproklamasikan segera, sebagai bentuk kedaulatan penuh, bukan "hadiah" dari Jepang.

Situasi itulah yang mendorong tokoh-tokoh muda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Wikana, Aidit, hingga Shodanco Singgih, mengambil tindakan cepat. Sekitar pukul 03.00 WIB, pada 16 Agustus, mereka membawa Soekarno, Hatta, Fatmawati, dan Guntur ke Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang aman dari pengaruh militer Jepang.

Di Rengasdengklok, para pemuda terus mendesak agar proklamasi dilakukan hari itu juga, tanpa harus menunggu PPKI bersidang. Namun Sukarno Hatta tetap kukuh pada pendirian: kemerdekaan harus diputuskan secara sah dan mewakili semua elemen bangsa.

Sementara itu di Jakarta, Ahmad Soebardjo tampil sebagai juru damai. Ia menjembatani perbedaan pandangan antara golongan muda dan tua. Setelah berunding dengan para pemuda, Soebardjo berangkat ke Rengasdengklok bersama Jusuf Kunto untuk menjemput Soekarno dan Hatta.

Kesepakatan pun tercapai: proklamasi kemerdekaan akan dilakukan keesokan harinya, tanggal 17 Agustus 1945, di Jakarta. Rombongan kembali ke ibu kota pada malam hari, dan menyusun naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda.

Pagi harinya, Sukarno membacakan teks proklamasi di kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Lokasi ini dipilih karena situasi di Lapangan Ikada terlalu rawan pengawasan militer Jepang.

Peristiwa Rengasdengklok bukan sekadar penculikan, melainkan bentuk tekanan politik yang lahir dari rasa cinta tanah air. Para pemuda mengambil risiko untuk memastikan bahwa kemerdekaan Indonesia datang dari perjuangan sendiri, bukan pemberian penjajah.

Tokoh-tokoh penting yang terlibat dalam peristiwa ini tidak hanya datang dari kalangan muda seperti Sukarni, Wikana, dan Chaerul Saleh, tetapi juga dari golongan tua seperti Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo yang akhirnya menemukan titik temu demi kemerdekaan bangsa.

Di Rengasdengklok pula, Merah Putih pertama kali dikibarkan oleh para pemuda pada 16 Agustus sebagai simbol kesiapan menyambut kemerdekaan. Di rumah milik Djiauw Kie Siong, ketegangan dan harapan menyatu menjadi energi perjuangan.

Peristiwa ini juga menandai gesekan ideologis antara dua generasi pejuang: yang satu ingin segera bertindak, yang lain menunggu langkah diplomatis. Namun perbedaan itulah yang akhirnya melahirkan keputusan besar pada 17 Agustus 1945.

Hari ini, Rengasdengklok tidak hanya dikenal sebagai kota kecil di Karawang, tetapi sebagai tapal batas sejarah — tempat di mana kemerdekaan Indonesia benar-benar diperjuangkan, didesak, dan disepakati.

 
KEYWORD :

Soekarni Kartodiwirjo Sukarno Hatta 16 Agustus Rengasdengklok Sejarah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :