Sabtu, 16/08/2025 11:45 WIB

Pidato Presiden Harus Didukung Karya Nyata agar Indonesia Maju dan Bermanfaat bagi Rakyat

Pidato Presiden memuat komitmen untuk kembali pada amanat Pasal 33 UUD 1945, di mana cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.

Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta. Foto: dpr

JAKARTA, Jurnas.com - Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD dalam rangka HUT ke-80 Republik Indonesia adalah salah satu dokumen politik paling penting tahun ini. Pidato yang memadukan refleksi sejarah, capaian kinerja awal pemerintahan, serta arah kebijakan strategis ini, layak diapresiasi sebagai wujud komitmen terhadap demokrasi, kedaulatan ekonomi, pemerataan sosial, dan pembangunan manusia.

“Namun, apresiasi tidak berarti tanpa catatan. Melalui tulisan ini dimaksudkan untuk mengawal pidato Presiden—mengamankan semangat dan substansinya agar dapat diwujudkan secara optimal—tanpa meragukan niat baik beliau,” kata Anggota Komisi III DPR RI Dr. I Wayan Sudirta. SH., Mh., melalui tulisannya, Sabtu (16/8/2025).

Dalam kerangka itu, Legislator dari Fraksi PDI-P ini menyampaikan beberapa poin strategis yang perlu menjadi perhatian agar isi pidato tidak berhenti sebagai retorika, melainkan menjelma menjadi kenyataan yang dirasakan seluruh rakyat.

Demokrasi yang Berjalan Seiring Nomokrasi

Presiden menegaskan keberhasilan transisi kepemimpinan yang damai dan terhormat sebagai bukti kematangan demokrasi Indonesia. Konsep demokrasi khas Indonesia—berlandaskan gotong royong, persatuan, dan kekeluargaan, hal positif seperti ini patut dijaga.

Namun, demokrasi yang sehat harus beriringan dengan nomokrasi. Negara hukum yang menegakkan supremasi hukum, menjamin kesetaraan di hadapan hukum, dan memastikan kekuasaan dijalankan secara akuntabel. Demokrasi tanpa nomokrasi rawan menjadi tirani mayoritas, sementara nomokrasi tanpa demokrasi berisiko jatuh pada otoritarianisme.

Oleh karena itu, penguatan kebebasan pers, transparansi anggaran, dan perlindungan terhadap hak-hak sipil harus menjadi komitmen bersama, agar demokrasi tidak sekadar prosedur elektoral, tetapi sarana untuk mengokohkan keadilan.

Kedaulatan Ekonomi: Dari Retorika ke Implementasi

Pidato Presiden memuat komitmen untuk kembali pada amanat Pasal 33 UUD 1945, di mana cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Keputusan untuk mengatur usaha penggilingan beras skala besar dan menindak serakahnomics adalah langkah konkret yang layak diapresiasi.

Namun, kedaulatan ekonomi hanya akan terwujud bila rantai distribusi hasil pembangunan dirasakan hingga desa-desa. Tantangannya adalah mengubah pertumbuhan ekonomi menjadi pemerataan yang nyata, menutup celah monopoli, dan memastikan kebijakan tidak sekadar menguntungkan konglomerasi atau kelompok tertentu.

Sumber Daya Alam (SDA) dan Tambang Ilegal: Jangan Hanya Tertib di Atas Kertas

Presiden menyampaikan keberhasilan penertiban 3,1 juta hektar sawit ilegal dan rencana menertibkan tambang yang melanggar aturan. Ini langkah awal yang baik, tetapi publik menunggu pembuktian di lapangan.

Tambang ilegal, perambahan hutan, dan eksploitasi sumber daya alam tanpa izin bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menghancurkan lingkungan hidup dan sumber penghidupan masyarakat lokal. Ketegasan hukum harus disertai keberpihakan kepada rakyat kecil, serta menghindari kompromi yang melemahkan penegakan hukum.

Efisiensi Berkeadilan: Keadilan Harus di Atas Segalanya

Presiden melaporkan telah menyelamatkan Rp300 triliun APBN dari potensi penyelewengan, menggeser anggaran tidak produktif menjadi program yang langsung dirasakan rakyat. Langkah ini mencerminkan efisiensi berkeadilan sebagaimana disebut dalam Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.

Namun, perlu ditekankan bahwa keadilan harus menjadi prioritas di atas efisiensi. Efisiensi tanpa keadilan berpotensi melahirkan ketimpangan baru, sementara keadilan yang dijalankan secara efisien akan memberi manfaat yang merata. Prinsip ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Dengan menempatkan keadilan sebagai panglima, efisiensi anggaran akan menjadi instrumen pemerataan, bukan sekadar penghematan biaya.

Pendidikan dan SDM: Membangun Karakter Bangsa

Program Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, pemerataan fasilitas pendidikan, hingga peningkatan kesejahteraan guru adalah langkah strategis membentuk generasi sehat, cerdas, dan berkarakter.

Namun, membangun SDM unggul tidak cukup dengan infrastruktur pendidikan semata. Pendidikan karakter berbasis Pancasila, penanaman nilai gotong royong, literasi digital, dan keterampilan abad ke-21 harus menjadi fokus, agar anak-anak Indonesia tumbuh sebagai warga negara yang kritis, kreatif, dan bertanggung jawab.

Pemikiran Pendiri Bangsa: Relevan Sepanjang Masa

Presiden juga mengingatkan bahwa pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Generasi ’45 tidaklah usang. Justru, amanat konstitusi dan visi para pendiri bangsa menjadi panduan untuk menghindarkan Indonesia dari jebakan ketergantungan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan degradasi demokrasi.

Bung Karno menegaskan bahwa Pancasila adalah philosophische grondslag, dasar filsafat negara, yang memadukan nasionalisme, internasionalisme, demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan keadilan sosial. Dalam pandangannya, demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi akan pincang, dan sebaliknya.

Menghidupkan kembali semangat tersebut berarti menafsirkan Pancasila secara operasional: memastikan kekayaan alam dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, membangun sistem politik yang berkeadilan, dan menegakkan hukum yang melindungi semua golongan. Pandangan ini relevan untuk memastikan pembangunan tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga keberlanjutan dan pemerataan.

Dari Janji ke Bukti

Pidato Presiden di HUT ke-80 RI adalah kompas politik, ekonomi, dan sosial bangsa lima tahun ke depan. Namun, kompas tidak akan mengantarkan kemajuan bila arah yang ditunjuk tidak ditempuh dengan langkah nyata.

Masyarakat kini sadar, melek, dan berani mengoreksi kekuasaan. Mereka siap mendukung setiap kebijakan yang berpihak pada rakyat, namun juga siap menolak bila kebijakan menyimpang. Lihatlah apa yang terjadi di Pati, Jawa Tengah, ketika masyarakat menolak kebijakan Bupati Pati yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 250%. Warga menilai kebijakan itu memberatkan, tidak sejalan dengan kondisi ekonomi mereka, dan dilakukan tanpa partisipasi yang memadai. Perlawanan ini adalah tanda bahwa rakyat tidak lagi pasif; mereka melek hukum, kritis, dan siap mengoreksi kebijakan yang dianggap tidak adil.

Mengawal pidato Presiden berarti mengawal harapan bangsa. Dan harapan itu hanya akan bertahan bila kata-kata dijelmakan menjadi karya nyata—sejalan dengan Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita para pendiri bangsa.

KEYWORD :

Pidato Presiden Karya nyata Indonesia maju




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :