Jum'at, 15/08/2025 13:09 WIB

Mengenal PBB-P2, Pajak yang Memantik Protes Massal di Pati

Mengenal PBB-P2, Pajak yang Memantik Protes Massal di Pati

Ilustrasi Pajak (Foto: Antara)

Jakarta, Jurnas.com - Kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) mendadak menjadi perbincangan publik belakangan ini. Terlebih pasca demonstrasi besar di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Warga menolak keras rencana kenaikan pajak hingga 250 persen yang sempat diumumkan Bupati Pati, Sudewo.

Diketahui, Bupati Sudewo, pada akhir Mei 2025, mengumumkan rencana kenaikan PBB‑P2 hingga 250 %, dengan dalih kompensasi agar daerah tidak terus defisit pungutan pajak. Ia menyatakan hal ini wajar, mengingat 14 tahun sebelumnya tidak ada kenaikan signifikan.

Setelah itu,awal Agustus 2025 video viral menampilkan Sudewo dengan nada menantang: “5.000 silakan, 50.000 massa silakan… saya tidak gentar!”—seolah pelempar jam kepada publik dan menambah bara kemarahan warga.

Meski akhirnya dibatalkan, aksi tetap digelar. Pada 13 Agustus 2025, ribuan warga turun ke jalan tak hanya meminta kebijakan itu dibatalkan, tapi juga menuntut Bupati Pati mundur dari jabatannya.

Tekanan publik semakin kuat saat DPRD Kabupaten Pati resmi menggunakan hak angket untuk membentuk panitia khusus pemakzulan. Ini menandai konflik yang sudah melampaui isu pajak semata.

Di balik kisruh ini, lantas apa sebenarnya PBB-P2? Mengapa pajak ini bisa menimbulkan gejolak sebesar itu?

Dikutip dari laman JDIH Kementerian Keuangan, PBB-P2 adalah pajak yang dikenakan atas tanah dan/atau bangunan milik atau yang dimanfaatkan oleh individu maupun badan. Pengelolaannya berada di tangan pemerintah kabupaten atau kota, bukan pemerintah pusat.

Objek pajak ini mencakup permukaan bumi seperti tanah dan perairan pedalaman, serta bangunan yang berdiri tetap di atas atau di bawahnya. Namun, sektor usaha seperti perkebunan, kehutanan, dan pertambangan dikecualikan dari PBB-P2.

Penentuan besarnya pajak didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP adalah taksiran harga rata-rata berdasarkan transaksi wajar atau perbandingan dengan objek serupa.

Besaran pajak yang harus dibayar dihitung dari tarif tertentu yang dikalikan selisih antara NJOP dan batas NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan nilai tarif dan NJOP di wilayahnya.

Dikutip dari berbagai sumber, masalah muncul ketika penyesuaian NJOP dan tarif dilakukan secara drastis, seperti yang terjadi di Pati. Warga merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada pengeluaran mereka.

Dalam konteks Pati, kenaikan pajak hingga tiga kali lipat dinilai membebani banyak kalangan, terutama petani, pedagang kecil, dan pemilik rumah sederhana. Di sejumlah desa, tagihan PBB dinilai naik tajam tanpa penjelasan yang memadai.

Meski Bupati Sudewo sudah meminta maaf dan mencabut kebijakan, protes tetap bergulir. Warga juga menuntut pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang sempat terlanjur dibayarkan.

Kasus ini menunjukkan bahwa pajak bukan sekadar urusan administrasi atau angka. Pajak berkaitan erat dengan rasa keadilan hingga kepercayaan antara warga dan pemerintah. (*)

KEYWORD :

Pajak Bumi dan Bangunan PBB-P2 Demonstrasi Pati Sudewo




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :