
Diplomat senior Ple Priatna. Foto: dok. Jurnas
JAKARTA, Jurnas.com - Indonesia jangan terjebak menjadi latah dan naif menerima proposal Solusi Dua Negara dalam penyelesaian konflik antara Palestina dan penjajah Israel. Ide dunia barat itu untuk mengakui eksistensi Israel, melupakan dosa pelanggaran Israel, dan kemudian juga melucuti gerakan perlawaman Hamas.
"Jalan keluar ala Barat yang jelas sudah ditolak Israel namun di sisi lain, Indonesia justru terus ikut menjerumuskan dunia dalam solusi dua negara dan menempatkan Palestina menjadi persoalan adalah kegagalan diplomasi RI," kata diplomat senior Ple Priatna kepada jurnas.com, Rabu (13/8/2025).
Menurutnya, deklarasi New York, pernyataan ketua bersama, dari Perancis dan Arab Saudi, mewakil 18 negara peserta, termasuk Indonesia dan dua entitas lembaga Uni Eropa dan Liga Arab, 30 Juli lalu, sesungguhnya menarik untuk disimak, terutama menyangkut solusi dua negara yang membagi Palestina dan Israel.
Bagi Priatna, solusi dua negara, mengakui Palestina berdaulat, jangan sampai dijadikan instrumen pengampunan dan pemutihan pelanggaran hukum Israel.
"Solusi dua negara, kalimat memukau yang digaungkan namun ibarat handuk basah yang kotor dari banyak tangan, yang di lempar sebagai jalan keluar guna menekan Palestina dan menguntungkan Israel," tegas Priatna.
Israel, kata Priatna, sepanjang 75 tahun pendudukan kolonial (Colonial Settler) atas Palestina jelas melanggar hukum internasional. Ratusan resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB, hingga keputusan Mahkamah Internasional tahun 2024 lalu tak ada yang digubrisnya.
Israel dilindungi hak veto Amerika Serikat seolah memiliki imunitas dan impunitas atas pelanggaran hukumnya.
"Tak mengherankan bila rencana aksi kemanusiaan merawat 2000 warga Gaza di Pulau Galang -- aksi kesehatan memindahkan sementara warga Palestina ke Indonesia dan setelah sehat dipulangkan kembali ke Palestina-- ini pun mengundang kontroversi," ujarnya.
Mengapa? Lajut Priatna, salah satunya karena, Israel melalui tangan Presiden Donald Trump, berniat untuk mengusir warga Palestina, ke Libya, Sudan dan Indonesia.
"Ini lde licik Israel menolak Palestina menjadi entitas warga berdaulat di tanah Palestina," katanya.
"Lalu, benar kah Israel mau berdamai dengan Palestina mewujudkan solusi dua negara, memerdekakan Palestina secara setara dan hidup berdampingan? Jawabnya Tidak," imbuh Priatna.
Priatna menjelaskan, belum sepuluh hari Deklarasi New York itu bergulir, Israel kembali menolak dan mementahkan niat dunia membangun perdamaian.
Netanyahu dan kabinet ekstrem kanan, justru bersiap melakukan operasi militer menduduki dan mengambil alih Gaza, tindakan aneksasi penuh berdalih (lagi) menggempur Hamas, agar Netanyahu tetap berkuasa.
Padahal sudah ditegaskan bahwa Gaza adalah bagian integral dari negara Palestina dan harus bersatu dengan Tepi Barat. Tidak boleh ada pendudukan, pengepungan, pengurangan wilayah, atau pemindahan paksa. Demikian sebaris butir ke-10 dari 42 butir isi Deklarasi New York.
Dewan Keamanan PBB bereaksi keras mengutuk Israel dan atas usulan Inggris, Denmark, Yunani dan Slovenia, DK PBB melakukan sidang darurat Sabtu dan Minggu kemarin.
"Negara yang waras tidak akan berperang melawan warga sipil, tidak akan membunuh bayi sebagai hobi, dan tidak akan melakukan pengungsian massal," ujar Priatna mengutip pernyataan Yair Golan, tokoh oposisi sayap kiri dan mantan wakil kepala staf angkatan darat Israel.
Aksi pembunuhan Israel berlanjut, lagi IDF menyerang warga sipil dengan bom dan menewaskan wartawan Al Jazeera Anas al-Sharif, Mohammed Qreiqeh, Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, dan Moamen Aliwa saat mereka berada di tenda pers di luar Rumah Sakit al-Shifa, Gaza City.
Priatna menegaskan, aksi itu bagian dari banalitas genosida yang terus terjadi setiap hari di Palestina. Dunia tak mampu menghentikannya. Dunia, termasuk Indonesia, tak mampu menghentikan aksi genosida Israel.
Sekalipun, di atas kertas, Indonesia mendukung penuh Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat yang secara kolektif akan diwujudkan melalui tiga langkah utama, seperti pengakuan atas negara Palestina oleh semua negara, penghentian kekerasan dan gencatan senjata serta penentuan masa depan Palestina oleh rakyat Palestina.
Jadi menurut Priatna, solusi dua negara seolah diyakini menjadi mantra global sebuah proposal mujarab bagi perdamaian Israel-Palestina.
Namun dunia menyaksikan fakta puluhan tahun proposal ini gagal dan dan terus ditolak Israel.
Satu tahapan fundamen awal untuk mengakui kedaulatan penuh Palestina ini pun masih penuh tantangan, walaupun mayoritas 75% warga dunia telah mengakui Palestina.
Israel menolak diakuinya Palestina sebagai entitas negara yang berdaulat. "Keputusan parlemen Israel, Knesset, 18 Juli 2024 lalu, semakin menegaskan Israel tidak ingin Palestina benar menjadi negara berdaulat, memiliki tentara nasional, garda militer, memiliki persenjataan modern dan hidup berdampingan dengan Israel," pungkas Priatna.
KEYWORD :Solusi Dua Negara Palestina Israel