
Ilustrasi sedang gangguan mental (Foto: Ilustrasi)
Jakarta, Jurnas.com - Perubahan iklim tak hanya merusak bumi secara fisik, tapi juga menyusup ke dalam kesehatan mental manusia. Para ilmuwan kini mengidentifikasi bentuk baru dari gangguan psikologis yang disebut solastalgia — sebuah istilah yang menggambarkan kesedihan dan tekanan emosional akibat perubahan drastis di lingkungan tempat tinggal seseorang.
Solastalgia menggabungkan kata “solace” (ketenangan) dan “nostalgia”, dan merujuk pada rasa kehilangan yang terjadi saat seseorang masih tinggal di tempatnya, namun tempat itu berubah drastis dan tak lagi memberi kenyamanan. Dilansir dari laman Earth, tidak seperti kerinduan karena berpindah tempat, solastalgia fokus pada luka psikologis akibat perubahan lingkungan yang tidak diinginkan di ‘rumah’ sendiri.
Istilah ini semakin relevan seiring meningkatnya bencana lingkungan seperti kebakaran hutan, penggundulan lahan, polusi industri, dan perubahan iklim yang merusak ekosistem lokal. Dalam sebuah review ilmiah terbaru dari University of Zurich, peneliti memetakan hubungan antara solastalgia dan gangguan mental, dengan menganalisis 19 studi dari berbagai negara sejak 2003 hingga 2024.
Studi-studi tersebut mencakup wilayah seperti Australia, Jerman, Peru, dan Amerika Serikat—semuanya mengalami bentuk kerusakan lingkungan berbeda namun menunjukkan pola stres mental yang konsisten. Dalam beberapa kasus, tingkat solastalgia berkorelasi dengan peningkatan risiko depresi, kecemasan, PTSD, dan gangguan psikosomatik.
Di komunitas sekitar tambang terbuka di Jerman, misalnya, korelasi antara solastalgia dan gangguan mental berada di kisaran 0,35 hingga 0,53, lebih tinggi dibanding respons terhadap bencana sesaat seperti banjir atau kebakaran. Di satu studi dari AS, setiap kenaikan satu poin dalam skala solastalgia meningkatkan risiko gangguan psikologis hingga 26 persen.
Yang menarik, dampak mental justru lebih berat ketika perubahan lingkungan berlangsung lama dan disebabkan oleh manusia, bukan oleh bencana alam sesaat. Ini sejalan dengan literatur trauma yang menyebut bahwa kerusakan jangka panjang cenderung meninggalkan jejak psikologis lebih dalam.
“Solastalgia bisa menjadi salah satu faktor yang memperburuk dampak perubahan iklim terhadap kesehatan mental,” ujar Alicia Vela Sandquist, penulis utama dari kajian ini. Meski bersifat observasional, temuan ini memperkuat dugaan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya ancaman fisik, tetapi juga emosional.
Solastalgia berfungsi sebagai kerangka penting dalam menjelaskan bagaimana kerusakan tempat tinggal berhubungan dengan gejala nyata seperti depresi, kecemasan, hingga kelelahan emosional. Beberapa studi juga mencatat penurunan kesejahteraan, hilangnya harapan, dan menurunnya resiliensi.
Salah satu mekanisme yang diduga berperan adalah learned helplessness — perasaan tidak berdaya ketika seseorang menyaksikan lingkungannya rusak tanpa bisa mencegahnya. Ini sering terjadi pada masyarakat adat, petani, atau penduduk lokal yang memiliki ikatan budaya dan emosional kuat dengan tanah tempat tinggal mereka.
Para peneliti telah mengembangkan sejumlah alat ukur seperti Environmental Distress Scale (EDS), Scale of Solastalgia (SOS), dan Brief Solastalgia Scale (BSS), untuk mengukur dampak psikologis secara kuantitatif. Alat ini juga memungkinkan perbandingan antar wilayah dan pelacakan perubahan gejala dari waktu ke waktu.
Temuan ini menyarankan agar layanan kesehatan mulai menyaring gejala solastalgia di wilayah yang terdampak perubahan lingkungan kronis, seperti daerah kekeringan panjang, polusi industri, atau wilayah rawan kebakaran hutan. Penanganan dini dapat mencegah gangguan mental berkembang lebih parah.
Meski sebagian besar studi yang dianalisis bersifat lintas waktu dan belum bisa memastikan sebab-akibat secara langsung, pola yang muncul konsisten di berbagai populasi. Studi lanjutan dengan desain longitudinal diperlukan untuk memahami durasi dan dampak jangka panjang dari solastalgia.
Solastalgia juga menjadi bagian dari emosi ekologi (eco emotions), seperti eco-anxiety dan eco-grief. Meski berbeda, ketiganya menunjukkan bahwa krisis lingkungan juga merupakan krisis emosional. Menamai emosi ini memungkinkan penyedia layanan, komunitas, dan pembuat kebijakan menyusun respons yang lebih tepat dan manusiawi.
Dengan bahasa yang semakin kaya untuk menjelaskan penderitaan yang sebelumnya tak terlihat, masyarakat kini punya cara untuk menyuarakan perasaan mereka atas dunia yang berubah. Karena saat lanskap berubah secara drastis, efeknya tidak hanya terlihat di bumi—tapi juga tercetak di dalam pikiran.
Studi ini telah diterbitkan di BMJ Mental Health. (*)
KEYWORD :Solastalgia gangguan mental baru dampak perubahan iklim kesehatan mental stres akibat lingkungan