
Ilustrasi sedang memendam stres (Foto: Pexels/Vitaly Gariev)
Jakarta, Jurnas.com - Diam bukan selalu emas, terutama saat menyangkut tekanan batin yang dipendam bertahun-tahun. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kebiasaan menahan stres justru mempercepat penurunan daya ingat, terutama pada lansia.
Studi ini mengikuti lebih dari 1.500 warga Tionghoa-Amerika berusia 60 tahun ke atas selama enam tahun. Mereka diminta menjawab pertanyaan detail soal perasaan putus asa, beban hidup, dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri.
Tim peneliti yang dipimpin oleh neurolog Michelle Chen dari Rutgers Institute for Health menemukan bahwa memendam stres secara signifikan mempercepat kerusakan memori. Setiap peningkatan dalam kebiasaan internalisasi stres berkorelasi dengan laju kehilangan ingatan yang setara dengan efek stroke ringan.
6 Cara Jitu Menjaga Work-Life Balance
Temuan ini memperlihatkan bahwa lansia yang menekan emosinya mengalami penurunan memori hampir empat kali lebih cepat dibanding mereka yang terbuka membicarakan stres. Efek ini konsisten terlepas dari seberapa ramah lingkungan sekitar atau seberapa banyak dukungan keluarga yang mereka miliki.
Artinya, yang merusak bukan jumlah stresnya, tapi bagaimana stres itu diproses di dalam diri. Para peneliti mencatat bahwa respons otak terhadap tekanan batin lebih merusak saat perasaan tidak diungkapkan.
Selama studi, peserta menjalani wawancara tahunan dan tes memori dalam bahasa Mandarin, Kanton, atau Toisan. Ini memungkinkan peneliti membedakan pelupa biasa dengan penurunan kognitif yang mengarah pada demensia.
Hasilnya, penurunan daya ingat berjalan seiring dengan stres yang dipendam, sementara kemampuan fokus dan kecepatan berpikir cenderung stabil. Temuan ini menegaskan bahwa memori adalah titik paling rentan terhadap tekanan mental jangka panjang.
Penelitian sebelumnya sudah mengaitkan stres dengan penurunan fungsi otak lintas usia, jenis kelamin, dan latar belakang ekonomi. Namun, studi ini memperkuat bukti tersebut dengan fokus pada satu kelompok budaya, mengeliminasi bias bahasa sebagai faktor utama.
Model statistik penelitian telah memperhitungkan usia, pendidikan, pendapatan, riwayat stroke, dan gangguan pendengaran. Bahkan peserta dengan pendidikan tinggi dan kehidupan sosial aktif tetap menunjukkan penurunan memori saat stres tak diungkapkan.
Chen menjelaskan bahwa banyak lansia Asia-Amerika tumbuh dalam budaya yang memuji ketabahan dalam diam, sejalan dengan stereotip "minoritas teladan." Tekanan ini mendorong mereka menyembunyikan kecemasan, bukan mencari bantuan.
Gaya bertahan seperti ini mirip dengan konsep John Henryism, pola coping ekstrem yang ditemukan pada komunitas kulit hitam Amerika yang bekerja keras untuk melawan stigma. Dalam jangka panjang, tekanan tanpa pelampiasan ini membebani sistem saraf dan kardiovaskular, termasuk bagian otak yang bertanggung jawab pada ingatan.
Chen menyebut bahwa stres emosional sering tak terlihat dalam pemeriksaan rutin, padahal ia punya peran kunci dalam proses penuaan otak. Karena itu, ia mendorong agar pemeriksaan lansia juga mencakup pertanyaan soal kesehatan mental.
Secara biologis, stres kronis menyebabkan lonjakan hormon kortisol, yang dalam dosis tinggi diketahui menyusutkan hippocampus — pusat pengarsipan memori di otak. Volume hippocampus yang mengecil berkorelasi langsung dengan semakin cepatnya daya ingat memudar.
Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa lansia dengan stres tinggi mengalami kemunduran memori lebih tajam dalam lima tahun. Temuan Chen memperlihatkan pola biologis serupa pada lansia Tionghoa-Amerika, meski mereka hidup di komunitas dengan tingkat sosial yang aktif.
Menariknya, faktor sosial seperti lingkungan hangat, kunjungan keluarga, atau klub hobi tidak memperlambat laju penurunan ingatan dalam studi ini. Pola ini sejalan dengan penelitian di kelompok etnis lain yang menunjukkan bahwa interaksi sosial tidak selalu mampu menangkal penurunan kognitif.
Eksperimen pada hewan memperlihatkan bahwa kortisol tinggi memang bisa merusak sambungan saraf di hippocampus, membuat otak lebih sulit membentuk memori baru. Efek seluler ini sejalan dengan gejala yang ditunjukkan peserta studi.
Chen menyarankan agar keluarga mulai peka terhadap kalimat seperti "saya gak mau merepotkan" atau "semua ini sia-sia," yang menandakan stres yang tidak disalurkan. Dukungan emosional dan pelatihan sederhana seperti teknik pernapasan dan mindfulness bisa menjadi pelampiasan awal.
Program seperti Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) terbukti mampu menekan efek negatif kortisol pada lansia, bahkan setelah hanya delapan minggu pelatihan. Versi yang disesuaikan secara budaya kini diuji di komunitas Asia-Amerika di New York, San Francisco, dan Honolulu.
Di California, pusat lansia seperti On Lok PACE menggabungkan konseling dalam bahasa Kanton dengan aktivitas harian untuk lansia, dan melaporkan hasil positif seperti penurunan angka rawat inap. Model layanan terintegrasi seperti ini bisa menjadi sarana aman untuk menyalurkan stres yang terpendam.
Ke depan, Chen dan tim akan memeriksa kadar kortisol dalam air liur dan pemindaian otak peserta untuk melacak jejak biologis dari stres yang dipendam. Mereka juga mulai menguji jeda napas lima menit yang dapat diajarkan di ruang tunggu klinik.
Bagi keluarga, Chen menyarankan satu hal sederhana: jika seorang lansia berkata "saya baik-baik saja" sambil menunjukkan wajah murung, ajak bicara lagi, atau temani berjalan sore. Interaksi ringan seperti ini bisa membuka ruang sebelum stres menetap terlalu dalam.
Di tingkat kebijakan, Chen mendorong adanya layanan konseling dwibahasa dan skrining demensia di wilayah padat komunitas Asia-Amerika. Upaya ini dinilai lebih hemat biaya ketimbang perawatan Alzheimer di tahap lanjut.
Pada akhirnya, stres memang bermula di pikiran, tapi meninggalkan jejak nyata dalam memori. Melepaskannya sejak awal bisa menjadi investasi penting untuk menjaga kejernihan ingatan hingga usia senja.
Studi ini dipublikasikan di The Journal of Prevention of Alzheimer’s Disease. (*)
Sumber: Earth
KEYWORD :Stres Dampak memendam stres Memori otak dimensia