
Ilustrasi - Mengenal Sosok Al-Farabi, Filsuf Islam Berjuluk Guru Kedua, Beserta Kata Bijaknya (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Di sebuah sudut Baghdad pada abad ke-10, seorang pria berjanggut lebat duduk di antara tumpukan manuskrip Yunani, kertas papirus, dan alat musik. Dialah Abu Nasr Muhammad al-Fārābī, sosok yang kelak dikenang dunia dengan nama Al-Farabi atau dikenal di dunia Barat sebagai Alpharabius.
Al-Farabi, Sang “Guru Kedua”
Dikutip dari berbagai sumber, Al-Fārābī adalah seorang filsuf dan teoretikus musik Islam yang hidup sekitar tahun 870–950 M. Ia dijuluki sebagai "Guru Kedua" (Second Teacher), setelah Aristoteles, karena pengaruhnya yang sangat besar dalam tradisi filsafat Islam.
Al-Fārābī lahir di Farab — wilayah yang kini masuk Kazakhstan. Ia menempuh perjalanan panjang menuntut ilmu hingga menetap di pusat peradaban Islam kala itu, Baghdad.
Al-Farabi bukan sekadar penghafal ajaran para filsuf Yunani. Ia berperan besar dalam menerjemahkan dan menyampaikan ajaran Plato dan Aristoteles ke dunia Islam, sekaligus mengembangkan sintesis yang unik dalam Etika, Metafisika, Logika, hingga Musik dan Politik.
Karya-karyanya, seperti Al-Madinah al-Fadhilah (Kota Utama) dan Kitab al-Musiqa al-Kabir (Kitab Besar Musik), membahas mulai dari logika, etika, teori politik, hingga harmoni nada.
Bagi Al-Farabi, filsafat bukan sekadar perdebatan akademis. Ia memandangnya sebagai seni untuk mencapai keindahan dan kebijaksanaan. Dalam Al-Madinah al-Fadhilah, ia menggambarkan masyarakat ideal yang dipimpin oleh seorang raja-filosof: pemimpin bijak yang adil, mencintai rakyatnya, dan menolak tirani.
Meski telah wafat lebih dari seribu tahun lalu, warisan Al-Farabi tetap hidup di ruang-ruang akademik, perpustakaan, hingga ruang diskusi modern. Di setiap lembar tulisannya, ia meninggalkan pesan bahwa peradaban yang luhur dibangun di atas fondasi ilmu, keadilan, dan cinta — nilai-nilai yang tak lekang dimakan zaman.
Pemikiran Al‑Farabi tentang masyarakat ideal—yang dipimpin oleh pemimpin bijaksana, berpadu antara filsafat dan keadilan—tetap menjadi rujukan penting dalam studi filsafat politik Islam dan Barat modern. Pemikiran ini juga telah memengaruhi banyak tokoh besar berikutnya, seperti Avicenna, Averroes, bahkan mencapai dunia filsafat Eropa.
Kata-Kata Bijak Al-Farabi
Pemikirannya juga melahirkan sejumlah kata-kata bijak yang abadi. Beberapa kutipan yang mencerminkan pandangan filsafatnya ialah sebagai berikut.
“A just city should favor justice and the just, hate tyranny and injustice, and give them both their just deserts.”
“Sebuah kota yang adil harus mendukung keadilan dan orang‑orang adil, membenci tirani dan ketidakadilan, dan memberi keduanya balasan yang layak.”
“Masyarakat bersatu karena kasih, hidup dengan keadilan, dan bertahan melalui kerja jujur.” Dalam pandangannya, kecerdasan adalah esensi kemanusiaan.
“Seseorang menjadi manusia karena kecerdasan.” Bagi Al-Farabi, kebijaksanaan tertinggi adalah ketika keindahan, kebenaran, dan keadilan berpadu dalam tindakan nyata.
“Society stands together with love, lives with justice and survives with honest work.”
“Masyarakat bersatu karena kasih, hidup dengan keadilan, dan bertahan melalui kerja jujur.”
“A person becomes a person thanks to the intellect.”
“Seseorang menjadi manusia karena kecerdasan.”
“An art that aims to achieve beauty is called philosophy or, in the absolute sense, it is called wisdom.”
“Sebuah seni yang bertujuan mencapai keindahan disebut filsafat atau, dalam arti mutlak, disebut kebijaksanaan.”
“A just city should favor justice… hate tyranny… and give them both their just deserts.”
(Pengulangan kutipan, menunjukkan betapa pentingnya tema keadilan dalam pemikiran Al‑Farabi.) (*)
KEYWORD :
Filsuf Islam Al-Farabi Guru Kedua Kata Bijak Filsafat Islam