
Ilustrasi masyarakat adat (Foto: RRI)
Jakarta, Jurnas.com - Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia atau International Day of the World’s Indigenous Peoples diperingati setiap 9 Agustus. Peringatan ini bertujuan melindungi hak-hak masyarakat adat, mempertahankan budaya, serta cara hidup mereka yang unik.
Penetapan tanggal ini bermula dari pertemuan pertama Kelompok Kerja PBB tentang Populasi Adat di Jenewa pada 1982. Majelis Umum PBB melalui Resolusi 49/214 pada 23 Desember 1994 kemudian menetapkan 9 Agustus sebagai hari peringatan resmi yang diperingati setiap tahun.
Menurut data PBB, terdapat 476 juta masyarakat adat di dunia yang tinggal di lebih dari 90 negara. Mereka mewakili lebih dari 5.000 budaya berbeda dan berbicara dalam mayoritas dari sekitar 7.000 bahasa di dunia. Meski jumlahnya kurang dari 6 persen populasi global, setidaknya 15 persen dari mereka merupakan bagian dari penduduk termiskin dunia.
Dikutip dari berbagai sumber, tahun ini, peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia mengangkat tema Indigenous Peoples and AI: Defending Rights, Shaping Futures. Tema ini menyoroti peran dan tantangan teknologi kecerdasan buatan (AI) bagi masyarakat adat.
Di satu sisi, AI berpotensi membantu revitalisasi budaya, pemberdayaan generasi muda, hingga adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun, di sisi lain, AI kerap memperkuat bias, eksklusi, dan salah representasi. Sebagian besar sistem AI dibangun tanpa melibatkan masyarakat adat, sehingga berisiko menyalahgunakan data, pengetahuan, dan identitas mereka.
Selain itu, pembangunan pusat data yang masif berpotensi mengancam lahan dan ekosistem masyarakat adat. Kurangnya akses ke teknologi di wilayah pedesaan juga membuat mereka tertinggal dalam proses pengambilan keputusan terkait AI.
PBB menegaskan, masyarakat adat harus dihormati sebagai pemegang hak, rekan pencipta, dan pengambil keputusan dalam pengembangan AI. Inklusi bermakna, kedaulatan data, dan inovasi berbasis budaya menjadi kunci agar teknologi memberdayakan komunitas adat.
Di Indonesia, peringatan ini menjadi momentum untuk memperkuat komitmen terhadap keberagaman, eksistensi, dan keadilan bagi masyarakat adat. Mereka telah berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pelestarian budaya, namun masih rentan terhadap marginalisasi dan perampasan hak.
Menurut Yance Arizona, Dosen Fakultas Hukum UGM, keberadaan masyarakat adat memiliki landasan filosofis dan yuridis yang jelas. UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat adat, namun regulasinya masih tumpang tindih. Hal ini mendorong pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA), meski dinilai cenderung politis dan terjebak pada perdebatan terminologi, bukan substansi perlindungan.
Dari sisi kebudayaan, sedikitnya 11 bahasa daerah di Indonesia telah punah, menandakan terpinggirkannya masyarakat adat. Sementara di sejumlah wilayah, mereka harus menghadapi ekspansi pembangunan lahan skala besar untuk proyek pangan nasional.
Yance menilai, perlindungan masyarakat adat memerlukan payung hukum yang menyeluruh dan kreatif, bukan sekadar regulasi formalitas. “Pemerintahan Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk masyarakat adat,” ujarnya.
Peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia bukan hanya bentuk apresiasi, tetapi juga pengingat bahwa keberagaman Indonesia dibangun di atas pondasi komunitas adat yang menjadi penjaga kearifan lokal. Meneguhkan hak, merawat tradisi, dan memperkuat peran mereka adalah langkah strategis untuk menjaga identitas bangsa di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi. (*)
KEYWORD :Hari Masyarakat Adat Sedunia 9 Agustus Peringatan hari masyarakat adat