Sabtu, 09/08/2025 03:49 WIB

Suhrawardi dan Filsafat Isyraqi, Guru Pencerahan Filsafat Islam

Suhrawardi melihat

Ilustrasi - Suhrawardi dan Filsafat Isyraqi (Foto: Kuliahislam)

Jakarta, Jurnas.com - Suhrawardi, nama yang mungkin tak sepopuler Plato atau Al-Ghazali di kalangan awam, namun di dunia filsafat Islam, ia adalah sosok revolusioner. Nama lengkapnya ialah Shihab al-Din Yahya ibn Habash Suhrawardi. Dikenal sebagai "Syaikh al-Isyraq" (Guru Pencerahan), Suhrawardi bukan hanya seorang filsuf, tapi juga mistikus yang membangun sistem filsafat berbasis cahaya dan intuisi spiritual.

Suhrawardi lahir pada tahun 1154 M di Suhraward, Persia (kini Iran). Ia menempuh pendidikan awal dalam tradisi filsafat Peripatetik (gaya Aristoteles), namun kemudian mengembangkan sistemnya sendiri yang disebut filsafat Isyraq atau hikmah al-Isyraq — "filsafat iluminasi".

Suhrawardī mendalami ilmu falsafah di Maragheh dan Isfahan sebelum memulai perjalanan spiritual serta intelektual yang menjangkau Anatolia dan Aleppo. Di sana, karya-karyanya—khususnya Kitāb Ḥikmat al‑Ishrāq (Buku Kebijaksanaan Pencerahan)—mencerminkan sintesis antara intuisi rasional dan wawasan mistis.

Filsafat ini menekankan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya datang dari logika, tetapi juga dari pengalaman batin dan pencerahan spiritual. Gagasan ini menjadikan Suhrawardi sebagai penghubung unik antara rasionalitas Yunani dan mistisisme Islam Timur.

Sayangnya, pemikirannya yang dianggap kontroversial membuatnya dieksekusi atau dihukum mati dalam usia muda, 38 tahun, pada 1191, atas tuduhan bid’ah atau menyimpang. Karenanya, ia juga dikenal sebagai Suhrawardi Al-Maqtul. 

Meskipun hidupnya singkat dan berujung tragis, warisan intelektual Suhrawardī Al-Maqtul terus hidup, memengaruhi Maulana Mulla Sadra dan kelanjutan filsafat Islam. Melalui ajarannya, cahaya metaforis bukan hanya simbol epistemologis, tetapi juga jalan spiritual menuju pencerahan batin mennes yang lebih dalam.

Suhrawardi melihat "cahaya" sebagai substansi paling dasar dari segala realitas. Semua makhluk, menurutnya, adalah gradasi dari cahaya — dari Cahaya Tertinggi (Nur al-Anwar) hingga kegelapan mutlak.

Dengan pendekatan ini, ia tidak hanya bicara soal teologi, tapi juga menggabungkan metafisika, kosmologi, hingga etika, dalam satu sistem berpikir yang menyentuh lapisan terdalam eksistensi manusia.

Dalam pandangan Suhrawardi, manusia adalah makhluk cahaya yang tengah berziarah menuju asalnya — cahaya murni yang transenden. Maka, hidup bukan sekadar eksistensi fisik, melainkan proses penyucian diri untuk kembali pada sumber cahaya sejati.

Ia menyatakan bahwa kegelapan bukanlah lawan dari cahaya, melainkan wujud dari ketiadaan cahaya itu sendiri. Oleh karena itu, kebodohan, kesesatan, dan kekacauan batin adalah akibat dari menjauh dari nur ilahi yang ada dalam diri manusia.

Di tengah dunia modern yang dipenuhi cahaya buatan dan informasi instan, pemikiran Suhrawardi terasa lebih relevan dari sebelumnya. Ia mengingatkan bahwa terang tidak selalu berarti tercerahkan, dan tidak semua sinar membawa pada kebenaran.

Sejumlah kata-kata bijaknya bahkan terasa seperti kritik diam-diam terhadap zaman ini, seperti “Cahaya sejati tidak bisa dilihat oleh mata, tapi dikenali oleh hati yang bersih.” Ada juga "Cahaya itu tidak bisa dilihat, tetapi cahaya memungkinkan kita untuk melihat segalanya." Atau pernyataannya yang terkenal, “Manusia bukan sekadar tubuh, tetapi perjalanan cahaya menuju asalnya.”

Lewat filsafatnya, Suhrawardi mengajukan tantangan penting kepada kita: apakah kita sekadar hidup di bawah terang dunia, atau benar-benar berjalan menuju cahaya hakiki. Sebab dalam pandangannya, filsafat bukan untuk mengetahui, tapi untuk menjadi — menjadi lebih bercahaya.

Warisan Suhrawardi hidup dalam tradisi filsafat Timur, Sufisme, hingga pemikiran kontemporer yang mencari titik temu antara ilmu dan spiritualitas. Ia tidak hanya mengubah peta filsafat Islam, tapi juga menginspirasi pencarian eksistensial lintas zaman dan budaya.

Kini, lebih dari delapan abad setelah kematiannya, suara Suhrawardi masih bergema dalam hati mereka yang mencari makna di balik kabut modernitas. Ia adalah bukti bahwa pencerahan sejati tak lahir dari teknologi, melainkan dari kejernihan jiwa yang mengenal dirinya sendiri. (*)

KEYWORD :

Suhrawardi Filsafat Isyraqi Syaikh al-Isyraq Filsuf Islam Kata Bijak




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :