Jum'at, 08/08/2025 14:44 WIB

Arogansi Kekuasaan dalam Alquran, Ketika Takhta Menjadi Sumber Kehancuran

Kekuasaan bisa menjadi anugerah, tapi dalam banyak kisah di Alquran, ia justru menjadi ujian yang menggiring manusia pada kejatuhan. Alquran mencatat sejumlah pemimpin yang terjerumus ke dalam arogansi kekuasaan—merasa tak tersentuh, kebal kritik, bahkan menempatkan diri setara dengan Tuhan.

Ilustrasi - Arogansi Kekuasaan dalam Alquran, Ketika Takhta Menjadi Sumber Kehancuran (Foto: BPKH)

Jakarta, Jurnas.com - Kekuasaan bisa menjadi anugerah, tapi dalam banyak kisah di Alquran, ia justru menjadi ujian yang menggiring manusia pada kejatuhan. Alquran mencatat sejumlah pemimpin yang terjerumus ke dalam arogansi kekuasaan—merasa tak tersentuh, kebal kritik, bahkan menempatkan diri setara dengan Tuhan. Mereka tidak hanya menjadi simbol tirani, tapi juga bukti nyata bahwa keangkuhan dalam memimpin selalu berujung pada kehancuran.

Alquran mencatat bagaimana pemimpin yang angkuh tidak hanya gagal memimpin dengan adil, tetapi juga menjadi penyebab runtuhnya peradaban. Kekuasaan yang seharusnya menjadi amanah justru berubah menjadi alat penindasan.

Dikutip dari berbagai sumber, Firaun adalah contoh paling mencolok dari sosok pemimpin yang dibutakan oleh kekuasaannya sendiri. Ia menolak seruan Nabi Musa, memecah belah rakyat Mesir, dan dengan pongah menyatakan diri sebagai tuhan. Dalam Surah Al-Qashash ayat 4, Allah berfirman:

"Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir`aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan".
(QS. Al-Qashash: 4)

Tindakan dan pernyataan itu bukan sekadar bentuk kesombongan spiritual, tetapi juga ekspresi absolutisme politik. Ia memonopoli kebenaran dan menjadikan kekuasaannya sebagai alat untuk mengintimidasi hingga menolak wahyu.

Namun Alquran menegaskan bahwa kekuasaan yang dibangun di atas kesombongan tidak pernah bertahan. Firaun akhirnya tenggelam, bersama bala tentaranya, ditelan laut yang dulu ia kira bisa dikendalikan.

Kisah yang tak kalah mencolok datang dari Namrud, raja yang menantang Nabi Ibrahim dalam debat ketuhanan. Ia mengklaim mampu memberi hidup dan mematikan, sebuah simbol dari kesombongan intelektual yang lahir dari kekuasaan mutlak.

Lalu ketika Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.”
Maka bingunglah orang kafir itu.
(QS. Al-Baqarah: 258)

Namrud tak hanya kalah argumen, tetapi juga memperlihatkan betapa rapuhnya pemimpin ketika ego mengalahkan akal sehat. Ia tidak bisa menjawab karena kebenaran tak bisa ditukar dengan kehendak politik.

Kedua tokoh itu menggambarkan satu pola yang sama: kekuasaan yang sombong akan menghancurkan dirinya sendiri. Dan kehancuran itu datang bukan karena lemahnya oposisi, tetapi karena runtuhnya moral dalam kepemimpinan.

Alquran tidak menyebut kisah ini sekadar sebagai catatan masa lalu. Ia hadir sebagai peringatan bagi siapa pun yang hari ini berada di kursi kekuasaan.

Karena bentuk arogansi hari ini tidak selalu berupa klaim ketuhanan. Ia bisa hadir dalam bentuk anti-kritik, pembungkaman suara publik, atau penyalahgunaan hukum demi mempertahankan kekuasaan.

Dalam banyak konteks, pemimpin semacam itu mulai memposisikan dirinya di atas nilai dan norma. Mereka merasa tak tersentuh, seolah tak ada yang bisa menurunkan mereka kecuali ajal.

Namun Islam mengajarkan bahwa keadilan adalah fondasi kekuasaan yang sejati. Dalam Surah Al-Hadid ayat 25, Allah menegaskan tujuan utama diturunkannya kitab dan para nabi adalah untuk menegakkan keadilan:

Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan...
(QS. Al-Hadid: 25)

Ayat ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan bukanlah milik pribadi, tetapi tanggung jawab sosial dan spiritual. Ketika seorang pemimpin meninggalkan keadilan, maka ia telah memulai jalan menuju keruntuhan.

Arogansi kekuasaan adalah penyakit lama yang terus hidup di zaman modern. Alquran menunjukkan bahwa sehebat apa pun kekuasaan, ia tidak akan pernah menang melawan kebenaran.

Sejarah membuktikan bahwa kejatuhan pemimpin tiran bukanlah mitos. Dan Alquran, dengan segala kisahnya, menjelaskan bahwa penyebabnya di antaranya ialah kesombongan yang menolak kebenaran. (*)

Wallohu`alam

KEYWORD :

Pemimpin Zalim Al-Quran Arogansi Kekuasaan Azab Islam




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :