Ilustrasi - Gambar bumi (Foto: Pexels/Pixabay)
Jakarta, Jurnas.com - Jika semua orang di dunia menyalakan lampu secara bersamaan, dunia akan mengalami lonjakan permintaan listrik dalam skala yang belum pernah terjadi. Sistem kelistrikan global dipaksa bekerja ekstra dalam waktu yang sangat singkat.
Dilansir dari laman Science Laert, listrik tidak disimpan dalam jumlah besar, melainkan diproduksi dan dikonsumsi secara real time. Karena itu, setiap kali sebuah lampu menyala, pembangkit listrik harus langsung menyuplai daya dalam jumlah yang setara.
Hal ini membuat sistem jaringan listrik sangat sensitif terhadap perubahan mendadak. Jika keseimbangan antara pasokan dan permintaan terganggu meski hanya beberapa detik, pemadaman bisa terjadi.
Pembangkit listrik memiliki karakteristik yang berbeda dalam merespons lonjakan beban. Pembangkit berbahan bakar gas bisa bergerak cepat, sementara pembangkit batu bara dan nuklir jauh lebih lambat.
Sebaliknya, energi terbarukan seperti matahari dan angin tergantung cuaca, sehingga tidak selalu bisa diandalkan dalam situasi darurat. Sementara itu, baterai raksasa yang digunakan untuk menstabilkan jaringan belum mampu menyuplai energi dalam skala kota secara berkelanjutan.
Meski demikian, ada teknologi seperti pumped-storage hydropower yang bisa membantu. Dengan memompa air ke danau buatan saat permintaan rendah, lalu melepaskannya untuk menghasilkan listrik saat permintaan melonjak, sistem ini menjadi semacam “baterai air” yang efisien.
Namun kekhawatiran akan keruntuhan total jaringan listrik global tidak sepenuhnya berdasar. Sebab, tidak ada satu pun jaringan listrik tunggal yang menghubungkan seluruh dunia.
Setiap negara memiliki sistem kelistrikan sendiri, dan sebagian besar dari mereka bisa terputus secara otomatis jika terjadi gangguan besar. Hal ini memungkinkan satu wilayah mati lampu tanpa menyeret wilayah lainnya ikut kolaps.
Selain itu, penyebaran lampu LED dalam dua dekade terakhir menjadi penyelamat tak terduga. Lampu jenis ini jauh lebih hemat energi dibandingkan bohlam konvensional dan mampu mengurangi tekanan besar pada sistem listrik.
Meski konsumsi listrik akan tetap melonjak, dampaknya tidak sebesar jika dunia masih menggunakan lampu pijar. Menurut Departemen Energi AS, penggunaan LED bahkan bisa menghemat hingga ratusan dolar per rumah tangga setiap tahunnya.
Namun persoalan lain muncul dari cahaya itu sendiri. Ketika miliaran lampu menyala sekaligus, cahaya akan memantul ke atmosfer dan menciptakan lapisan terang yang disebut skyglow.
Fenomena ini tidak hanya menghilangkan keindahan langit malam, tetapi juga memengaruhi ekosistem. Cahaya buatan bisa mengacaukan ritme alami manusia dan mengganggu orientasi hewan liar seperti burung dan penyu.
Masalahnya bertambah parah karena pencahayaan di banyak kota masih tidak efisien. Lampu jalan sering diarahkan ke langit, bukan ke permukaan tanah, dan gedung-gedung dibiarkan menyala sepanjang malam meski kosong.
Jika seluruh lampu dinyalakan secara bersamaan, dunia akan tampak terang benderang namun kehilangan langit berbintangnya. Ini bukan hanya tentang energi, tetapi juga tentang bagaimana manusia memosisikan cahaya dalam kehidupan modern. (*)
KEYWORD :Lonjakan listrik efek cahaya onsumsi listrik sistem kelistrikan



















