
Ilustrasi - Viral Jelang Agustusan Bendera One Piece Berseliweran, Apa Artinya? (Foto: RRI)
Jakarta, Jurnas.com - Belakangan ini, jagat media sosial dan dunia nyata diramaikan oleh pemandangan dan perbincangan tak biasa. Bendera bajak laut dari anime One Piece berkibar di berbagai tempat, mulai dari tiang rumah warga, kapal nelayan, truk hingga foto profil WhatsApp dan media sosial lainnya.
Bendera hitam dengan tengkorak di atas tulang bersilang, dikenal dengan Jolly Roger, dunia menyebutnya simbol bajak laut topi jerami, cukup menyita perhatian publik. Di balik bendera itu dianggap menyimpan semangat yang tak bisa diremehkan. Ia telah berubah dari sekadar simbol fiksi menjadi lambang perlawanan terhadap ketidakadilan yang dirasakan banyak orang, terutama anak muda.
Fenomena ini menjadi bukti bahwa bendera bukan hanya kain bergambar yang dikibarkan di udara. Ia bisa menjadi media ekspresi, perlawanan, bahkan identitas kolektif yang membentuk kesadaran baru dalam masyarakat.
Dalam sejarah panjang umat manusia, bendera selalu hadir sebagai representasi kekuasaan, penderitaan, maupun cita-cita atau harapan. Hal yang sama terjadi dalam peradaban Islam, di mana simbol warna dan bentuk panji memiliki makna jauh lebih dalam daripada yang tampak di permukaan.
Dikutip dari berbagai sumber, dalam catatan sejarah Islam, panji atau bendera sudah dikenal sejak masa Nabi Muhammad SAW. Ketika memasuki Yatsrib, beliau diminta membawa tanda pengenal, lalu melilitkan imamah di kayu sebagai simbol kehadirannya.
Anggota DPR: Fenomena Bendera One Piece Bagian dari Ekspresi, Pemerintah Harus Introspeksi
Seiring berjalannya waktu, bendera-bendera itu berkembang menjadi simbol resmi pasukan dan komunitas Muslim. Dalam perang-perang besar seperti Badar, Uhud, dan Khaibar, bendera dibawa oleh tokoh-tokoh utama seperti Mush’ab bin Umair dan Ali bin Abi Thalib.
Bendera yang digunakan Rasulullah terbagi dua: Ar-Rayah yang berwarna hitam dan Al-Liwa’ yang berwarna putih. Ar-Rayah kerap digunakan dalam pertempuran, sedangkan Al-Liwa’ digunakan dalam urusan administratif dan penanda identitas negara.
Makna warna dalam panji ini tidak bisa dipisahkan dari suasana batin umat saat itu. Warna hitam, khususnya, bukan hanya representasi kekuatan, tapi juga lambang kedukaan dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Asosiasi ini semakin kuat ketika peristiwa Karbala pecah pada tahun 680 M. Kematian tragis Husain bin Ali, cucu Nabi, menjadi luka kolektif yang menciptakan gelombang kesadaran politik dalam tubuh umat Islam, terutama kalangan pendukung Ahlul Bait.
Luka ini kemudian disuarakan dalam bentuk simbolik oleh gerakan bawah tanah yang ingin menggulingkan Dinasti Umayyah. Mereka menjadikan warna hitam sebagai bendera perjuangan dan menyebut diri mereka sebagai al-Musawwidah, para pembawa panji hitam.
Gerakan ini dipusatkan di Khurasan, wilayah timur kekuasaan Islam yang jauh dari kendali Damaskus. Di tempat ini pula muncul tokoh revolusioner karismatik bernama Abu Muslim al-Khurasani.
Di bawah komandonya, panji hitam tidak hanya berkibar sebagai alat propaganda, tapi menjadi lambang pembebasan bagi kaum mawali—kelompok non-Arab yang termarjinalkan dalam sistem Umayyah. Abu Muslim memobilisasi rakyat dengan narasi perlawanan yang kuat, berbasis pada keadilan dan keutamaan keluarga Nabi.
Salah satu syair yang dikutip oleh Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala menggambarkan semangat revolusioner itu:
"Biarkan aku diam dalam badai yang kutahan, Karena bila kugelorakan perang, bumi sempit bagimu, tak berampun. Kan kukirim besi hitam dari bara dendam yang kupangku, Pasukan hitam, yang sejak lama menanti aku bangkit dan menyapu."
Syair ini tidak hanya menyuarakan kemarahan, tapi juga membangun identitas kolektif sebuah revolusi. Pasukan hitam adalah cermin dari api dendam sejarah yang tak padam oleh waktu.
Puncak gerakan ini terjadi pada tahun 750 M ketika Dinasti Abbasiyah berhasil menggulingkan Umayyah. Abu al-Abbas As-Saffah dinobatkan sebagai khalifah pertama di Kufah, dan sejak itu bendera hitam resmi menjadi lambang kekuasaan negara.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya mencatat bahwa warna hitam ini dipilih sebagai bentuk berkabung atas para syuhada dari keluarga Nabi. Ia menulis, “Panji mereka berwarna hitam sebagai simbol duka atas syuhada dari Bani Hasyim, dan sebagai bentuk kecaman terhadap Bani Umayyah atas pembunuhan tersebut.”
Dengan menjadikan bendera hitam sebagai simbol negara, Dinasti Abbasiyah ingin menegaskan bahwa kekuasaannya adalah lanjutan dari perjuangan keluarga Nabi. Sekaligus sebagai penanda bahwa kekuasaan harus dibangun di atas keadilan, bukan keturunan semata.
Namun seiring waktu, makna bendera hitam mulai bergeser. Setelah konflik berdarah antara al-Amin dan al-Ma’mun, simbol kekuasaan sempat berubah warna menjadi hijau, yang lebih diasosiasikan dengan Syiah.
Langkah ini diduga sebagai upaya politik untuk merangkul faksi-faksi pro-Ahlul Bait yang kecewa terhadap kebijakan Abbasiyah. Namun keputusan ini tidak bertahan lama, dan warna hitam kembali dikibarkan setelah wafatnya al-Ma’mun.
Meskipun panji hitam sempat kehilangan kekuatan simboliknya karena birokratisasi kekuasaan, jejak historisnya tetap membekas dalam ingatan umat Islam. Dalam beberapa riwayat hadis, panji hitam bahkan dikaitkan dengan kemunculan Imam Mahdi sebagai penyelamat di akhir zaman.
Riwayat-riwayat ini menyebut bahwa dari arah Timur akan muncul pasukan berpanji hitam yang akan menegakkan kembali keadilan. Meskipun tafsir dan derajat hadis ini masih menjadi perdebatan, simbolisme yang melekat padanya tetap hidup hingga kini.
Dari medan perang di Khurasan hingga narasi akhir zaman, bendera hitam mengemban makna yang terus berkembang. Ia adalah duka yang menjelma menjadi harapan, simbol kehilangan yang melahirkan semangat perubahan.
Kini, ketika anak-anak muda mengibarkan bendera bajak laut dengan semangat yang sama, kita diingatkan kembali bahwa simbol bisa melampaui asal-usulnya. Ia bisa menjadi ruang tafsir baru bagi siapa pun yang ingin melawan penindasan dengan identitasnya sendiri.
Bendera hitam dalam Islam adalah saksi dari pergolakan sejarah, saksi dari peralihan duka menjadi revolusi. Ia bukan hanya representasi dari masa lalu, tapi juga refleksi dari keberanian yang tak lekang oleh zaman.
Simbol, pada akhirnya, adalah cermin dari siapa kita dan apa yang sedang kita perjuangkan. Dan dalam setiap kain yang berkibar di tiang-tiang sejarah, selalu ada kisah yang menunggu untuk diceritakan kembali. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Bendera One Piece bendera hitam Sejarah Islam