Selasa, 14/10/2025 02:39 WIB

Cara Otak Memproses Bacaan dan Audio Ternyata Berbeda, Ini Penjelasannya

Di era podcast dan audiobook seperti sekarang, pertanyaan seperti ini mulai sering muncul: Apakah membaca masih relevan? Jika semua informasi bisa didengar sambil beraktivitas, untuk apa repot-repot membuka buku?

Ilustrasi membaca buku (Foto: Pexels/Antoni Shkraba Studio)

Jakarta, Jurnas.com - Di era podcast dan audiobook seperti sekarang, pertanyaan seperti ini mulai sering muncul: Apakah membaca masih relevan? Jika semua informasi bisa didengar sambil beraktivitas, untuk apa repot-repot membuka buku?

Pertanyaan inilah yang coba dijawab oleh Stephanie N. Del Tufo, asisten profesor di University of Delaware yang meneliti bagaimana otak memproses bahasa tertulis dan lisan. Dalam tulisannya di The Conversation dikutip ScienceAlert, Del Tufo membongkar cara kerja otak saat kita membaca dan mendengarkan—dan mengapa keduanya tidak bisa dipertukarkan secara langsung.

Membaca dan Mendengarkan: Sama-Sama Memahami, Tapi Jalurnya Berbeda

Menurut Del Tufo, tujuan utama membaca dan mendengarkan memang sama: memahami informasi. Tapi jalur yang ditempuh otak untuk sampai ke pemahaman itu sangat berbeda.

Saat membaca, otak melakukan proses kompleks: mengenali bentuk huruf, menghubungkannya ke bunyi, menyusun makna kata, lalu merangkainya menjadi pemahaman yang utuh. Kita juga dibantu oleh struktur visual seperti paragraf, tanda baca, dan huruf tebal.

Sebaliknya, mendengarkan membuat otak bekerja dalam tempo orang lain. Karena bahasa lisan datang dalam aliran yang terus-menerus dan cepat hilang, pendengar harus mengandalkan memori jangka pendek dan kemampuan untuk mengenali batas kata, intonasi, hingga konteks pembicaraan secara cepat.

Mendengarkan Bukan Selalu Lebih Mudah

Menariknya, Del Tufo menekankan bahwa mendengarkan tidak selalu lebih mudah daripada membaca—terutama untuk teks yang kompleks. Studi-studinya menunjukkan bahwa orang lebih mudah memahami konten nonfiksi yang berat saat membaca dibanding mendengarkan.

Misalnya, buku teks atau esai ilmiah lebih menuntut keterlibatan aktif otak dalam strategi berpikir dan perhatian terarah—hal yang lebih didukung oleh proses membaca.

Sementara itu, cerita fiksi cenderung memicu area otak yang berkaitan dengan narasi dan pemahaman sosial. Ini menjelaskan kenapa audiobook sering efektif untuk genre novel, tapi kurang optimal untuk konten berat seperti buku sains atau filsafat.

Membaca Itu Lebih Fleksibel, Mendengarkan Itu Lebih Terbatas

Satu keunggulan membaca adalah fleksibilitas. Saat membaca, kita bisa berhenti sejenak, mengulang bagian sulit, atau menandai poin penting. Mendengarkan tidak sepraktis itu. Jika kita melewatkan sesuatu, kita harus memutar ulang—yang tidak selalu mudah dilakukan, apalagi jika sedang multitasking.

Namun Del Tufo juga menggarisbawahi bahwa untuk orang dengan disleksia perkembangan, mendengarkan bisa menjadi jalan pintas yang sah. Proses decoding huruf ke bunyi sering jadi tantangan besar bagi penderita disleksia. Mendengarkan memungkinkan mereka melompati hambatan tersebut dan langsung fokus ke makna.

Keterlibatan Mental Jadi Kunci Utama

Del Tufo menutup analisanya dengan menyoroti satu faktor penting: engagement atau keterlibatan mental. Banyak orang mendengarkan sambil melakukan hal lain—memasak, berolahraga, atau scrolling media sosial. Hal ini membuat pemahaman terhadap konten menjadi lebih rendah dibanding saat membaca.

Penelitian yang ia kutip menunjukkan bahwa mahasiswa yang membaca materi meraih hasil kuis lebih tinggi daripada mereka yang mendengarkannya—karena pembaca cenderung lebih fokus.

Yang ingin ditegaskan oleh Del Tufo bukanlah soal memilih antara membaca atau mendengarkan, melainkan memahami bagaimana masing-masing bekerja untuk otak. Keduanya memiliki kekuatan dan keterbatasan, tergantung pada konteks, tujuan, dan kondisi pembelajar. (*)

KEYWORD :

Membaca Vs Mendengarkan Neurosains Bahasa Literasi Digital Belajar Efektif




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :