Minggu, 03/08/2025 16:55 WIB

Sejarah Amnesti dari Kisah Fathu Makkah

Peristiwa Fathu Makkah memberikan gambaran kuat tentang bagaimana Islam memandang amnesti

Ilustrasi - peristiwa Fathu Makkah (Foto: AI)

Jakarta, Jurnas.com - Keputusan Presiden Prabowo Subianto dalam memberikan amnesti dan abolisi kepada sejumlah tokoh nasional, termasuk Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong, menuai perhatian luas dari berbagai kalangan masyarakat.

Di balik perbincangan mengenai kebijakan pengampunan ini, menarik untuk menelusuri jejak sejarah dalam tradisi Islam.

Salah satu momen paling monumental yang mencerminkan prinsip amnesti terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, yakni saat Fathu Makkah atau Penaklukan Kota Makkah—peristiwa yang menjadi simbol kekuatan, kemenangan, dan pemaafan dalam kepemimpinan Islam.

Fathu Makkah berlangsung pada tahun 8 Hijriah (sekitar 630 M), setelah terjadinya pelanggaran terhadap Perjanjian Hudaibiyah yang sebelumnya mengatur gencatan senjata antara kaum Muslimin dan Quraisy selama 10 tahun.

Pelanggaran terjadi saat suku Bani Bakr, sekutu Quraisy, menyerang Khuza’ah, yang merupakan sekutu Nabi Muhammad SAW.

Meskipun pelanggaran ini tergolong serius, Rasulullah tidak langsung mengangkat senjata. Setelah usaha rekonsiliasi melalui Abu Sufyan gagal, Rasulullah mempersiapkan ekspedisi besar dengan 10.000 pasukan dari Madinah menuju Makkah. Kepemimpinan Madinah saat itu sementara diserahkan kepada Abu Raham al-Ghifari.

Pada 20 Ramadan 8 H (11 Januari 630 M), Rasulullah dan pasukannya memasuki Makkah. Dalam suasana euforia, salah satu tokoh Anshar, Sa’d bin Ubadah, meneriakkan, “Hari ini adalah hari pembalasan!” Rasulullah tidak setuju dengan semangat tersebut dan segera menggantikan Sa’d dengan putranya, Qays bin Sa’d, sebagai pembawa panji. Beliau menegaskan bahwa hari itu adalah "Hari Kasih Sayang" (al-yaum yaum al-marhamah), bukan hari pembalasan.

Ketegangan yang dirasakan oleh warga Makkah akhirnya mencair setelah mereka melihat pendekatan damai pasukan Muslim. Penaklukan berlangsung tanpa perlawanan berarti dan minim kekerasan, berbeda dari pertempuran-pertempuran sebelumnya seperti Badar dan Uhud.

Setelah kota berhasil dikuasai, Nabi Muhammad SAW melakukan pembersihan Ka’bah dari berhala dan simbol kemusyrikan. Saat menghancurkan berhala-berhala tersebut, beliau melafalkan ayat dari Surah Al-Isra’ ayat 81:
"Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap."

Bilal bin Rabah, yang sebelumnya mengalami penindasan di Makkah, diminta mengumandangkan azan dari atas Ka’bah, simbol kebangkitan Islam dan keadilan sosial.

Yang paling mengesankan dari peristiwa ini adalah pemberian amnesti besar-besaran kepada penduduk Makkah. Rasulullah SAW memaafkan musuh-musuh lamanya tanpa syarat, dengan mengutip Surah Yusuf ayat 92:
"Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu. Semoga Allah mengampuni kamu. Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang."

Orang-orang yang diampuni ini kemudian dikenal sebagai al-thulaqa—yakni "yang dibebaskan." Bahkan di antara mereka terdapat tokoh-tokoh Bani Umayyah yang sebelumnya memusuhi Islam, namun kemudian bergabung dan menjadi bagian dari komunitas Muslim.

Peristiwa Fathu Makkah memberikan gambaran kuat tentang bagaimana Islam memandang amnesti: bukan sekadar pengampunan hukum, tetapi juga sebagai sarana rekonsiliasi, pemulihan moral, dan penyatuan umat. Rasulullah menunjukkan bahwa pengampunan yang didasarkan pada nilai kasih sayang dan keadilan mampu mengubah musuh menjadi saudara, dan menciptakan pondasi kuat bagi perdamaian.

Dalam konteks modern, kebijakan amnesti seperti yang diterapkan di Indonesia hari ini bisa menjadi cerminan dari nilai-nilai tersebut — selama tetap mengedepankan keadilan, kemaslahatan, dan kebaikan bagi bangsa.

KEYWORD :

Info Keislaman Fathu Makkah Rasulullah SAW Amnesti




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :