Minggu, 03/08/2025 16:26 WIB

Amnesti dari Perspektif Fikih Siyasah

Dalam tradisi Islam, konsep pengampunan atau penghapusan hukuman oleh kepala negara dikenal dengan istilah al-`afwu dan asy-syafa`ah

Ilustrasi - hukum (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengeluarkan keputusan penting dalam bidang hukum dengan memberikan amnesti kepada Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.

Kebijakan ini telah mendapatkan persetujuan DPR RI dan secara otomatis menghentikan proses hukum terhadap Hasto, yang kini resmi dinyatakan bebas.

Tak hanya Hasto, Prabowo juga memberikan amnesti massal kepada lebih dari seribu terpidana lainnya, serta abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong, sebagaimana tercantum dalam Surat Presiden Nomor 43 tertanggal 30 Juli 2025.

Langkah ini kemudian menimbulkan diskusi menarik, terutama jika ditinjau dari sudut pandang hukum Islam, khususnya dalam kerangka fiqih siyasah.

Dalam tradisi Islam, konsep pengampunan atau penghapusan hukuman oleh kepala negara dikenal dengan istilah al-‘afwu (pemaafan) dan asy-syafa‘ah (permohonan keringanan).

Dua istilah ini erat kaitannya dengan fiqih siyasah—cabang ilmu dalam syariah Islam yang membahas urusan pemerintahan dan pengelolaan kemaslahatan publik.

Secara etimologi, al-‘afwu berarti menghapus, memaafkan dengan lapang dada, atau memberikan keringanan tanpa balas dendam.

Menurut ulama klasik seperti Abu al-Husain Ahmad bin Faris, istilah ini menggambarkan tindakan penguasa yang menghapus hukuman terhadap pelaku kejahatan demi pertimbangan maslahat yang lebih besar.

Al-Qur`an sendiri mengajarkan nilai pemaafan, salah satunya dalam Surah Al-A’raf ayat 199:

“Jadilah engkau pemaaf, suruhlah orang mengerjakan kebaikan, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Menurut Buya Hamka, ayat ini merupakan panduan moral Rasulullah SAW dalam menyikapi umat, yang menekankan tiga aspek: pemaaf, menyeru kebaikan, dan menghindari pertikaian dengan orang yang keras kepala.

Selain itu, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Aisyah RA, Nabi SAW bersabda:

“Hindarilah menjatuhkan hudud (hukuman berat) atas sesama Muslim sebisa mungkin. Jika ada peluang untuk memberi maaf, maka berikanlah. Karena kesalahan seorang pemimpin dalam memaafkan lebih ringan daripada kesalahannya dalam menjatuhkan hukuman.”

Hadis ini menjadi dasar terbentuknya kaidah fiqih: “Al-khatha’ fil ‘afwi khayrun min al-khatha’ fil ‘uqubah” — lebih baik keliru dalam memaafkan daripada keliru dalam menghukum.

Islam membagi bentuk hukuman menjadi tiga kategori utama, dan masing-masing memiliki perlakuan berbeda terhadap kemungkinan pemberian pengampunan:

1. Ta’zir

Hukuman ini bersifat fleksibel dan sepenuhnya berada dalam kebijakan penguasa. Pengampunan atau keringanan atas ta’zir bisa diberikan dengan alasan kemaslahatan.

2. Qishash

Dalam kasus pembunuhan atau cedera berat, hak untuk memaafkan berada di tangan korban atau keluarganya. Jika mereka memaafkan, pelaku tidak dihukum mati, melainkan diwajibkan membayar diyat (kompensasi).

3. Hudud 

Hukuman yang telah ditentukan secara syar’i. Namun jika pembuktian kasus masih meragukan, maka hukuman bisa dihindari, sebagaimana anjuran Nabi.

Pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden Prabowo sejatinya dapat dipandang sebagai bentuk nyata penerapan prinsip keadilan dan kemanusiaan dalam sistem hukum modern yang juga memiliki relevansi dalam hukum Islam.

Terlebih ketika terdapat pertimbangan kemaslahatan nasional, serta perlunya menjaga stabilitas sosial dan politik.

Dalam jurnal “Amnesti: Hak Prerogatif Presiden dalam Perspektif Fiqih Siyasah” yang diterbitkan oleh UIN Ar-Raniry Aceh, dijelaskan bahwa pengampunan kepada pelaku dalam kasus jinayat, terutama jika bukti tidak kuat atau menimbulkan polemik, merupakan tindakan yang dapat dibenarkan dalam syariat Islam.

 

KEYWORD :

Info Keislaman amnesti Pandangan Islam Fikih Siyasah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :