Sabtu, 02/08/2025 20:32 WIB

Burnout Semakin Mengkhawatirkan, Ini Cara Pulih dan Mencegahnya Menurut Riset

Burnout bukan lagi sekadar kelelahan biasa. Ini adalah kondisi kelelahan emosional dan fisik yang berlangsung lama akibat tekanan pekerjaan yang terus-menerus tanpa ruang pemulihan yang cukup

Ilustrasi burnout( Foto : Theasianparent )

Jakarta, Jurnas.com - Burnout bukan lagi sekadar kelelahan biasa. Ini adalah kondisi kelelahan emosional dan fisik yang berlangsung lama akibat tekanan pekerjaan yang terus-menerus tanpa ruang pemulihan yang cukup. Dampaknya sangat luas—mulai dari penurunan kinerja, krisis identitas profesional, hingga gangguan kesehatan serius seperti depresi, penyakit jantung, dan bahkan peningkatan risiko kematian dini.

Laporan terbaru dari Mental Health UK menyebutkan bahwa 91% pekerja dewasa di Inggris mengaku mengalami tekanan mental tinggi sepanjang tahun lalu, dan 1 dari 5 harus mengambil cuti kerja karena stres yang berkepanjangan. Fakta ini menegaskan bahwa burnout adalah masalah global yang kini membutuhkan perhatian serius, termasuk di Indonesia.

Burnout Lebih Dari Sekadar Lelah

Tidak semua kelelahan adalah burnout. Namun saat energi terkuras habis, antusiasme kerja menghilang, dan performa menurun drastis tanpa tanda-tanda pulih, itu bisa jadi sinyal bahaya. Orang yang mengalami burnout seringkali merasa kehilangan makna terhadap pekerjaannya. Mereka mulai bekerja secara otomatis, kehilangan empati, bahkan merasa mual secara emosional terhadap tugas-tugas harian mereka.

Yang membuatnya berbahaya, banyak orang tidak langsung menyadari bahwa mereka tengah berada dalam kondisi burnout. Ketika kelelahan emosional dibiarkan menumpuk, burnout bisa diam-diam merusak kualitas hidup dan kesehatan mental dalam jangka panjang.

Gejala yang Kerap Tak Disadari

Tanda-tanda burnout bisa sangat halus di awal. Anda mungkin merasa lelah bahkan sebelum bekerja, atau berbicara tentang pekerjaan dengan nada sinis. Hari-hari kerja terasa monoton, dan Anda menjalani tugas hanya sebagai kewajiban, bukan karena makna atau kepuasan pribadi. Perasaan emosional yang cepat naik-turun, rasa tidak berguna, hingga menarik diri dari interaksi sosial di tempat kerja adalah gejala lain yang sering muncul.

Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang menjadi krisis identitas profesional, bahkan mengganggu kehidupan pribadi.

Mengatasi Burnout Butuh Perubahan di Dua Arah: Individu dan Organisasi

Menghadapi burnout tidak cukup hanya dengan libur beberapa hari. Pemulihan yang efektif membutuhkan perubahan struktural—baik dari sisi individu maupun organisasi.

Dari sisi pribadi, langkah pertama adalah mengurangi beban kerja yang tidak realistis. Banyak orang merasa perlu menyelesaikan segalanya dalam satu waktu, padahal memprioritaskan yang esensial dan belajar mengatakan “tidak” justru penting untuk kesehatan jangka panjang. Di saat yang sama, penting juga untuk menjaga batas antara kehidupan kerja dan pribadi, termasuk tidak membawa pekerjaan ke akhir pekan atau waktu istirahat.

Penting juga untuk menciptakan ruang pemulihan yang nyata. Aktivitas sederhana seperti berjalan kaki tanpa tujuan, membaca buku yang bukan untuk belajar, atau sekadar tidur cukup bisa membantu tubuh dan pikiran untuk “reset”. Proses pemulihan ini bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar.

Job Crafting, Menyesuaikan Pekerjaan dengan Kapasitas Diri

Salah satu strategi paling efektif dalam jangka panjang adalah job crafting, yaitu menyesuaikan pekerjaan agar lebih sejalan dengan kekuatan, minat, dan kapasitas pribadi. Ini bisa berarti mencari lingkungan kerja yang lebih kondusif, menyusun ulang jadwal agar lebih manusiawi, atau meminta tugas yang memberi ruang untuk pengembangan diri.

Menariknya, perubahan kecil ini terbukti secara ilmiah mampu menurunkan tingkat burnout. Dengan mengatur ulang cara kita memandang dan menjalani pekerjaan, beban yang berat bisa terasa lebih ringan dan bermakna.

Peran Organisasi Tak Kalah Penting

Burnout bukan hanya tanggung jawab individu. Organisasi yang tidak memberikan dukungan, tidak mengelola beban kerja dengan adil, atau gagal menyediakan ruang untuk istirahat akan terus menciptakan lingkungan yang melelahkan. Itulah mengapa intervensi seperti pelatihan manajemen stres, program mindfulness, hingga kebijakan right to disconnect—di mana karyawan tak diwajibkan membalas pesan kerja di luar jam kerja—semakin dibutuhkan.

Pemimpin dan manajer juga memiliki peran besar dalam menciptakan budaya kerja yang sehat. Hubungan yang suportif antara atasan dan tim terbukti dapat menurunkan risiko burnout secara signifikan.

Dengan demikian, burnout bukanlah akhir dari segalanya. Namun semakin cepat dikenali dan ditangani, semakin besar peluang untuk pulih. Keseimbangan antara tuntutan kerja dan ketersediaan sumber daya—baik mental, emosional, maupun sosial—adalah kunci utama.

Jika burnout sudah mulai mengganggu produktivitas dan keseharian, saatnya berhenti sejenak, mengevaluasi ulang prioritas, dan mencari cara bekerja yang lebih manusiawi. Karena pada akhirnya, kesehatan mental bukan hanya tanggung jawab pribadi, tapi budaya yang perlu dibangun bersama. (*)

Sumber: Theconversation

KEYWORD :

Burnout cara mengatasi burnout kesehatan mental job crafting work-life balance




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :