
Ilustrasi - bulan Safar (Foto: Kabiantour)
Jakarta, Jurnas.com - Safar adalah bulan kedua dalam kalender Hijriyah, yang memiliki sejarah menarik dan seringkali dikaitkan dengan berbagai mitos.
Mitos-mitos ini berkembang di kalangan masyarakat Arab sebelum Islam datang, sehingga sering kali pembahasan tentang bulan Safar tidak lepas dari cerita-cerita tersebut. Lalu, bagaimana sebenarnya sejarah bulan Safar ini?
Asal-usul penamaan
Mengutip penjelasan dari Ibnu Mandzur dalam Lisanul ‘Arab, kata Safar memiliki dua arti yaitu bisa berarti kosong (Shafar) atau dapat juga berarti warna kuning (Shufrah).
Adapun sebab penamaan Safar berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Arab zaman dahulu yang meninggalkan rumah atau kediaman mereka (sehingga kosong) untuk berperang atau bepergian jauh.
Mengapa Bulan Kedua Hijriah Disebut Bulan Safar?
Pendapat tersebut diceritakan dalam al-Mufasshal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam bahwa orang-orang yang ditinggal bepergian ini mengeluh sambil berkata, “Shafira an-Nasu minna shafaran (Orang-orang mengosongkon kota (meninggalkan) kita sebab kita miskin (kosong/tidak memiliki harta).” (Juz 6, h. 120)
Mitos seputar Safar
Dalam sejarahnya, masyarakat Arab Jahiliyah menganggap Safar sebagai bulan kesialan. Hal tersebut tidak lepas dari keyakinan mereka bahwa Safar adalah salah satu jenis penyakit yang bersarang di dalam perut.
Tak hanya sampai di situ, mengutip penjelasan dalam buku Mengenal Nama Bulan dan Kalender Hijriah, masyarakat Arab Jahiliyah meyakini Safar sebagai bulan yang penuh kejelekan. Sebagian masyarakat berpendapat, Safar adalah jenis angin berawak panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang yang terkena menjadi sakit.
Keyakinan terhadap hal-hal tersebut dibantahkan manakala Islam datang. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا غُولَ وَلَا صَفَرَ
Artinya: "dari Jabir Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak ada penyakit yang menular secara sendirian tanpa izin Allah, tidak ada hantu bergentayangan dan tidak ada shafar (penyakit perut) yang terjadi dengan sendirinya." (HR Muslim, no 4120)
Dalam hadits lain disebutkan pula:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا بَالُ إِبِلِي تَكُونُ فِي الرَّمْلِ كَأَنَّهَا الظِّبَاءُ فَيَأْتِي الْبَعِيرُ الْأَجْرَبُ فَيَدْخُلُ بَيْنَهَا فَيُجْرِبُهَا فَقَالَ فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak ada `adwa (meyakini bahwa penyakit tersebar dengan sendirinya, bukan karena takdir Allah), dan tidak ada shafar (menjadikan bulan Safar sebagai bulan haram atau keramat) dan tidak pula hammah (reinkarnasi atau ruh seseorang yang sudah meninggal menitis pada hewan)." Lalu seorang Arab Badui berkata, "Wahai Rasulullah, lalu bagimana dengan unta yang ada dipasir, seakan-akan (bersih) bagaikan gerombolan kijang kemudian datang padanya unta berkudis dan bercampur baur dengannya sehingga ia menularinya?" Maka Nabi ﷺ bersabda, "Siapakah yang menulari yang pertama." (HR Bukhari, no 5278)
Setelah mengetahui sejarah Safar dan mitos yang ada di dalamnya, tentu umat Islam perlu menjadikan hal ini sebagai pedoman. Sebab, tidak ada yang namanya bulan kesialan. Jangan sampai pemahaman mitos yang dibawa oleh segelintir orang dikonsumsi bulat-bulat tanpa adanya upaya memvalidasi mitos yang ada.
Semua waktu yang diciptakan Allah Ta’ala adalah kesempatan yang baik. Oleh karenanya, tidak ada waktu sial dan mitos ini telah dibantah dengan kedatangan Islam itu sendiri.
Sumber: MUI
KEYWORD :Info Keislaman bulan Safar Sejarah Mitos