Senin, 11/11/2024 01:52 WIB

Bedah Buku Mengkiritisi Perkara Mardani H Maming, Ada Kekeliruan

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan PT Raja Grafindo gelar Bedah buku

Bedah Buku Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming. (Foto: Jurnas/Ist).

Yogyakarta, Jurnas.com- Gelaran diskusi bedah buku hasil eksaminasi terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2022/PN.BJM. jo Putusan Banding Nomor 03/Pid.Sus-TPK/2023/PT.BJM. jo Putusan Kasasi Nomor 3741 K/Pid.Sus/2023 atas nama terdakwa Mardani H. Maming dilakukan di Yogyakarta, Sabtu (5/10/2024). Bedah buku mengambil judul: "Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming," yang diterbitkan oleh Centre for Leadership and Legal Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan PT Raja Grafindo (Penerbit Buku Rajawali).

Sejumlah pakar hukum menilai terpidana Mardani H Maming (MM), mantan Bupati Tanah Bambu, Kalimantan Selatan,  tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan penuntut umum. Putusan majelis hakim tingkat pertama, banding dan kasasi dibangun dengan konstruksi hukum berdasarkan asumsi dan imajinasi saja karena tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum serta tidak berbasis evidence/bukti yang tersampaikan dimuka persidangan.

Bedah buku eksaminasi ini melibatkan tim eksaminator  yaitu Prof. Dr. Ridwan Khairandy, SH.MH. (ahli hukum perdata/hukum bisnis); Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. (ahli hukum pidana); Prof. Hanafi Amrani, SH.MH.LLM. PhD., (ahli hukum pidana); Prof. Dr. Ridwan HR. SH.MH., (ahli hukum administrasi negara); Dr. Eva Achjani Zulfa, SH.MH. (ahli hukum pidana dan kriminologi); Dr. Muhammad Arif Setiawan, SH.MH. (ahli hukum pidana); Dr. Nurjihad, SH.MH. (ahli hukum keperdataan); Dr. Mahrus Ali, SH.MH., (ahli hukum pidana dan viktimologi);  Karina Dwi Nugrahati Putri, SH.LLM. M.Dev.Prac. (Adv), kandidat doktor (ahli hukum perdata/hukum perusahaan); dan Ratna Hartanto, SH.MH., kandidat doktor (ahli hukum perdata/hukum perusahaan).

Sementara yang hadir sebagai pembicara/pembedah sekaligus pembuat legal opinion dan amicus curiae yaitu Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H.,L.L.M;  Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum; dan Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita menilai kasus dugaan tidak pidana korupsi yang didakwakan terhadap Mardani H Maming tersebut memiliki sejumlah kekeliruan. Setidaknya ada delapan kekeliruan yang dia catat, salah satunya terkait dengan moral.

Romli menegaskan bahwa sejak awal  kasus Mardani H Maming ini seharusnya  tidak diproses, karena fakta-fakta hukum yang kabur dan tidak jelas untuk dibuktikan. Dia menyebut ada banyak siasat dari penegak hukum untuk terus melanjutkan proses kasus ini. Termasuk dengan penggunaan pasal-pasal yang tak sepenuhnya sesuai konteksnya. Ia menilai, , karena susahnya pembuktian, maka penyidik menggunakan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi supaya gampang, patut diduga. Justru, tegas Romli,  seharusnya kasus ini dihentikan penyidikannya dengan mengeluarkan SP3. Namun nyatanya KPK tidak melakukan hal itu dan justru dipaksakan.

"Kalau yang bener begitu lihat memang susah, hentikan, SP3, ini kan enggak, karena KPK alasannya enggak boleh SP3, ya harusnya dilimpahkan ke Kejaksaan kalau mau seperti itu, kan tidak dilakukan. Lanjut aja dipaksakan," kata Romli.

"Kalau saya berpikir ya mau jaksanya nggak bener, polisi nggak bener, kalau hakimnya tegak lurus ke atas nggak ada masalah tapi ini jaksanya sudah enggak betul secara hukum, hakimnya juga enggak mau tegak lurus," lanjutnya.

Romli mengatakan bukan tidak mungkin kasus ini kental dengan nuansa politik. Sehingga memang seolah-olah dibuat hukum itu memang berlaku dan ada.

Hal serupa disampaikan  Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso  bahwa eksaminasi yang dilakukan para ahli hukum itu sesuatu yang penting untuk dilakukan. Apalagi putusan hakim tidak terlepas dari kemungkinan kekeliruan. Menurutnya, eksaminasi yang dilakukan para ahli hukum ini merupakan suatu usaha yang sangat penting. Dia mengatakan kritisi yang disampaikan kalangan akademis penting, karena selalu ada kemungkinan namnya kekhilafan atau kekeliruan hakim. Kekritisan yang sampaikan itu hendaknya kemudian menjadi perhatian bagi para penegak hukum. Tidak terkecuali para hakim di dalam peradilan.

"Sama seperti alasan kasasi misalnya, yaitu penerapan hukum yang keliru, itu selalu mungkin terjadi. Maka kekritisan upaya untuk misal mengeksaminasi, menganotasi, memberikan catatan kritis itu harus diterima oleh kalangan peradilan," ungkapnya.

Terdapat 9 poin kesimpulan dari hasil bedah buku tersebut terkait  perkara terpidana Mardani H Maming yaitu, diantaranya, pertama, terpidana Mardani Maming (MM) tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan penuntut umum. Lalu kedua, dakwaan/tuntutan terhadap terdakwa tampak terlalu dipaksakan karena fakta yang terungkap dalam persidangan tidak dilandasi bukti yang cukup. Ketiga, dakwaan yang dibangun adalah pasal suap, namun si pemberi suap tidak pernah diperiksa baik tingkat penyidikan sampai persidangan.

Keempat, Pasal 93 UU Pertambangan adresat larangan untuk mengalihkan itu adalah untuk pemilik IUP OP bukan pada pejabat. Kelima, dapat dikemukakan bahwa, penuntut menghadapi kesulitan secara teknis hukum pembuktian. Keenam, terdakwa dalam jabatan bupati, atas delegasi wewenang dari Menteri Dalam Negeri berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, diberikan kewenangan mengeluarkan izin dalam hal permohonan IUP.

Dan selanjutnya ketujuh, sekalipun quod non telah terbukkti terdapat pelanggaran atas UU sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan. Kedelapan, poin 7 di atas diperkuat dengan penafsiran ketentuan Pasal 14 UU Tipikor, baik penafsiran historis, sistematis-logis maupun penafsiran telelologis. Kesembilan, putusan kasasi dalam perkara tipikor atas nama Mardani H. Maming secara kasat mata telah mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Sebagimana diketahui, pengadilan tingkat pertama, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Banjarmasin), majelis hakim   telah memvonis Mardani Maming bersalah dan harus menjalani penjara selama 10 tahun, serta denda Rp500 juta.


KEYWORD :

Mardani H Maming Bedah Buku Pidana Korupsi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :