Unjuk rasa pencopotan Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Pol. Andi Rian R Djajadi. Foto: dok. jurnas
JAKARTA, Jurnas.com – Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Organisasi Serdadu Muda Nusantara (Sedara) bahkan menggeruduk Mabes Polri untuk menuntut pencopotan Kapolda Sulawesi Selatan, Irjen Pol Andi Rian R Djajadi, Jumat (20/9/2029).
Aksi ini merupakan lanjutan dari demonstrasi sebelumnya terkait dugaan intimidasi terhadap jurnalis yang diduga dilakukan oleh Irjen Pol Andi Rian.
“Aksi Jilid II ini adalah bentuk konsistensi kami menyikapi dugaan intimidasi terhadap wartawan oleh Irjen Pol Andi Rian,” ujar Muhammad Senanatha, Koordinator Lapangan Aksi, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Jayabaya.
Senanatha menyampaikan, Sedara mengecam keras tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan pers, yang merupakan salah satu hasil penting dari reformasi.
“Kebebasan pers adalah buah dari perjuangan reformasi yang panjang dan penuh pengorbanan. Oleh karena itu, Sedara mengecam keras tindakan intimidasi terhadap jurnalis yang mencederai kebebasan ini,” tegasnya.
Dalam aksinya, Sedara juga mendesak Mabes Polri untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap Irjen Pol Andi Rian, terkait dugaan pelanggaran kode etik.
“Kami tidak akan berhenti meminta Mabes Polri untuk memeriksa Irjen Pol Andi Rian atas dugaan pelanggaran kode etik, karena tindakan intimidasi terhadap jurnalis ini merupakan pelanggaran serius,” tambah Senanatha.
Sebelumnya, wartawan atas nama Heri Siswanto, mengaku diintimidasi oleh Kapolda Sulsel Irjen Pol Andi Rian R Djajadi usai memberitakan adanya dugaan pungutan liar (Pungli) pada penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Satpas Polres Bone.
Selain diduga diintimidasi, istri Heri yang bertugas sebagai ASN Polri di Polres Sidrap, juga diduga mendapat perlakuan yang tidak adil dari Kapolda Sulsel yaitu dimutasi ke Polres Kepulauan Selayar, mutasi tersebut diduga bentuk balas dendam Kapolda Sulsel atas pemberitaan Heri.
Berikut isi pernyataan sikap dan tuntutan aktivis Sedara:
Dewasa ini, kebebasan pers di Indonesia mengalami tekanan yang semakin mengkhawatirkan, seiring dengan munculnya insiden intimidasi yang melibatkan Kapolda Sulawesi Selatan, Irjen Pol Andi Rian R Djajadi, terhadap jurnalis Heri Siswanto. Insiden ini mengungkap wajah suram dari institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
Bukannya merespons kritik dengan kedewasaan dan transparansi, Kapolda Sulsel justru diduga menggunakan kekuasaan untuk menekan dan mengintimidasi, yang pada akhirnya mencederai prinsip keadilan dan akuntabilitas publik.
Kasus yang mencuat terkait dengan pemberitaan dugaan pungutan liar (pungli) dalam penerbitan SIM di Polres Bone oleh Heri Siswanto memperlihatkan dengan jelas bagaimana kebebasan pers masih menjadi sasaran intimidasi oleh mereka yang seharusnya menjaga supremasi hukum. Irjen Pol Andi Rian R Djajadi, bukannya menyelidiki lebih lanjut dugaan pungli tersebut, justru dilaporkan marah besar kepada wartawan yang memberitakannya. Sikap emosional yang ditunjukkan oleh Kapolda ini bukan hanya mencerminkan kurangnya kedewasaan dalam menerima kritik, tetapi juga menjadi indikasi kuat adanya upaya sistematis untuk menutup-nutupi kebobrokan di dalam institusi Polri.
Tindakan Kapolda Sulsel yang diduga menekan Heri melalui telepon dengan mengeluarkan kalimat intimidatif seperti, "Apa masalahmu dengan polisi? Kenapa kamu sering memberitakan hal-hal negatif tentang kami?" menunjukkan betapa sempitnya ruang untuk kritik dan kontrol terhadap penyalahgunaan wewenang.
Jurnalis, sebagai pilar utama dalam menjaga keseimbangan informasi di masyarakat, justru dijadikan target intimidasi oleh pejabat tinggi kepolisian yang tidak siap untuk terbuka terhadap sorotan publik. Ini adalah bukti bahwa ada upaya untuk membungkam kebenaran, menakuti-nakuti mereka yang berani berbicara, dan melanggengkan praktek-praktek koruptif yang menghancurkan integritas lembaga hukum di negeri ini.
Langkah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang mengirimkan surat klarifikasi ke Polda Sulsel adalah langkah awal yang penting, namun belum cukup untuk menyelesaikan akar masalah.
Klarifikasi hanyalah sebatas permukaan, sementara persoalan mendasar yang jauh lebih serius adalah bagaimana Polri, sebagai institusi penegak hukum, dapat memastikan bahwa intimidasi terhadap jurnalis tidak terjadi lagi di masa depan.
Mabes Polri kini berada di bawah sorotan tajam publik. Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sebagai Kapolri yang mempromosikan program “PRESISI” (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi, Berkeadilan), harus membuktikan komitmennya terhadap prinsip-prinsip tersebut. Insiden ini adalah ujian nyata bagi upaya reformasi yang sedang dijalankan. Mabes Polri wajib menunjukkan keberanian untuk memeriksa dan mengadili siapa pun, termasuk pejabat tinggi seperti Kapolda Sulsel, yang terbukti menyalahgunakan kekuasaannya.
Sebagai institusi yang dipercayakan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Polri harus menghormati hak setiap individu, termasuk wartawan, untuk mengungkap kebenaran tanpa ancaman atau intimidasi. Jika tidak, maka Polri akan kehilangan legitimasi sebagai penegak hukum yang berintegritas, dan akan terus dibayangi oleh citra buruk sebagai institusi yang korup dan anti demokrasi.
Intimidasi terhadap jurnalis bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi juga serangan langsung terhadap demokrasi dan kebebasan pers. Sikap anti-kritik dan otoriter yang ditunjukkan Kapolda Sulsel adalah bukti nyata betapa rapuhnya komitmen kepolisian terhadap transparansi. Polri harus ingat bahwa tanpa kontrol dan pengawasan media, kinerja mereka tidak akan pernah mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat. Media bukan musuh, melainkan mitra yang bertugas untuk memastikan bahwa institusi ini berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan hukum.
Sebagai bangsa yang menganut prinsip demokrasi, kita tidak boleh membiarkan intimidasi terhadap pers terus terjadi. Ini adalah momentum untuk memastikan bahwa kebebasan pers dijaga dan dihormati. Kasus ini harus menjadi titik balik untuk memperbaiki hubungan antara pers dan penegak hukum. Penegakan hukum yang adil dan transparan adalah fondasi dari kepercayaan publik, dan tanpa itu, demokrasi di Indonesia akan selalu berada di bawah bayang-bayang tirani.
Tuntutan:
- Mendesak Kapolri Untuk Copot Irjend Pol. Andi Rian R Djajadi Sebagai Kapolda Sulawesi Selatan Karena Diduga Telah Melakukan Pelanggaran Kode Etik.
- Usut Tuntas Dugaan Intimidasi Terhadap Jurnalistik Yang Diduga Dilakukan Kapolda Sulsel.
- Usut Tuntas Maraknya Praktik Pungli SIM di Wilayah Sulawesi Selatan
- Mosi Tidak Percaya Terhadap Irjend Pol. Andi Rian R Djajadi.
Sedara Polda Sulsel Kebebasan Pers