Sabtu, 27/07/2024 12:32 WIB

Pakar: Hak Angket Tak Ada Dalam Kerangka Hukum Pemilu Indonesia

Sebab, jika hak angket yang mau dipaksakan, tentu itu sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan.

Pakar hukum tata negara dan konstitusi, Fahri Bachmid. (Foto: Dok. Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Pakar hukum tata negara dan konstitusi Fahri Bachmid angkat bicara soal wacana pengguliran hak angket oleh DPR untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024.

Menurut dia, pada hakikatnya pembentuk UUD 1945 telah meletakan mekanisme "checks and balances" dalam konteks relasi kelembagaan serta kewenagan atributif yang dimiliki entitas lembaga negara, dalam peneyelenggaraan negara, termasuk DPR, Presiden, MK, maupun KPU dalam rangka penyelenggaraan Pemilu.

"Bangunan konstitusionalnya dapat kita cermati dalam kaidah Pasal 20A yaitu dalam melaksanakan fungsinya, DPR diperlengkapi dengan alat yang dinamakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Ini dalam konteks pengawasan terhadap lembaga eksekutif dalam menjalankan pemerintahan negara, bukan dimaksudkan untuk menilai atau membahas terkait proses atau hasil Pemilu dengan segala implikasinya," terang Fahri dalam keterangan resminya, Jumat (23/2).

Dia melanjutkan, konstruksi norma Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945 tentang Pemilu telah mengatur bahwa Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

"Dengan demikian, jika DPR mencoba membuat kebijakan ekstensifikasi kewengannya, termasuk menggunakan alat angket untuk menilai serta menyelidiki proses serta produk Pemilu, tentu merupakan jalan yang keliru serta jauh dari prinsip konstitusi, yang telah secara tegas meletakkan diferensiasi kewenagan konstitusional pada masing-masing lembaga negara," terangnya.

Fahri menjelaskan, relasi penyelesaian sengketa Pemilu telah ditentukan secara limitatif dalam konstitusi. Kanal penyelesaian secara konstitusional tidak dikenal digunakan di luar dari yang telah ditentukan. Ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

"Menurut hemat saya, jalan itu yang mestinya digunakan. Sebab, jika hak angket yang mau dipaksakan, tentu itu sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan. Angket adalah operasi sesar yang tidak dikenal dalam sistem penyelesaian sengketa Pemilu di republik ini. Tidak ada dalam kerangka hukum Pemilu kita," tegasnya.

Fahri menjelaskan, bahwa hak angket adalah instrumen yang diberikan kepada DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan Undang-Undang atau kebijakan Pemerintah yang dianggap memiliki dampak penting, strategis, dan luas pada kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara serta diduga melanggar peraturan perundang-undangan.

Landasan konstitusional pengunaan Hak Angket didasarkan pada UUD 1945, khususnya ketentuan Pasal 20A ayat (2), dan secara derivatif, pranata hak angket DPR mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) beserta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014.

Diuraikan, dalam kerangka hukum tata negara, hak angket, bersama dengan hak menyatakan pendapat dan hak interpelasi, merupakan instrumen pengawasan legislatif terhadap berbagai kebijakan yang diambil eksekutif atau pemerintah.

"Namun, dalam konteks permasalahan Pemilu, penggunaan hak angket tersebut adalah absurd serta tentunya inkonstitusional, tidak dikenal dalam bangunan hukum Pemilu kita. Penjelasan dalam Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MD3 dengan jelas menyatakan bahwa hak angket dimaksudkan untuk mengawasi lembaga eksekutif, yang mencakup Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian," ucapnya.

Dengan demikian, lanjutnya, jika hak angket digunakan sebagai alat untuk mengurai permasalahan Pemilu, pada hakikatnya itu telah masuk pada ranah sengketa Pemilu, yang sesungguhnya merupakan yurisdiksi pengadilan. "Yang penyelesaiannya merupakan kompetensi absolut MK, bukan DPR," imbuhnya.

Fahri menyarankan agar para pihak yang tidak puas dengan hasil Pemilu untuk tertib mengunakan instrumen hukum atau kerangka hukum Pemilu yang tersedia.

Menurutnya, ada banyak saluran konstitusional yang dapat ditempuh apabila merasa ada kecurangan pada pelaksanaan Pemilu, yakni melalui Bawaslu, DKPP, maupun mengajukan sengketa ke MK.

"Itu lebih genuine yang tentunya berbasis pada prinsip-prinsip konstitusionalisme," tutup Fahri.

 

KEYWORD :

Hak Angket DPR Pemilu 2024 konstitusi Fahri Bachmid




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :