Kamis, 16/05/2024 14:52 WIB

Asa Seorang Guru dari Balik Dinding Perahu

Di balik dinding perahu, Rismawati terkadang menahan rasa sesak, meninggalkan keluarga berhari-hari hingga berminggu-minggu

Rismawati, Pengawas SMP dan Guru Penggerak Kabupaten Pangkep (Foto: Ist)

Makassar, Jurnas.com - Jalloro perlahan menjauhi daratan Pangkajene, selepas sang juru kemudi mengangkat jangkar dari dermaga pesisir Kabupaten Pangkep. Perahu kayu tradisional itu kini siap tak siap harus berjibaku melawan ganasnya ombak di Selat Makassar.

Di balik dinding perahu bermuatan lima orang, Rismawati terkadang menahan rasa sesak. Sebagai seorang guru, dia tak hanya mempertaruhkan kenyamanan jauh dari keluarga berhari-hari bahkan berminggu-minggu, anak-anaknya juga harus siap seandainya lautan yang dia lintasi, sewaktu-waktu bisa mempertemukannya dengan maut.

"Saya titip anak-anak saya ke orang tua. Mungkin saya tidak bisa kembali karena bertemu ombak," kata Rismawati kepada Jurnas.com, di sela-sela diskusi antara Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen Kemdikbudristek, Iwan Syahril, dan Guru Penggerak se-Kabupaten Pangkep pada Selasa (20/2) di Kantor Bupati Pangkep, Sulawesi Selatan.

Seperti yang sudah-sudah, tujuan Rismawati adalah Pulau Balangcaddi, pulau kecil yang berlokasi di barat daya Pangkep. Butuh hampir tiga jam sebelum Jalloro bersandar di dermaga Balangcaddi, itupun jika cuaca maupun ombak mendukung. Jika tidak, bisa lima jam.

Perjalanan ini tak melulu dilematis bagi Rismawati. Rasa optimis tetap mewarnai misinya mencerdaskan para peserta didik kawasan terluar dengan akses tak seleluasa anak-anak di daratan Pangkajene. Rismawati membayangkan anak-anak itu kelak dapat mengubah nasib keluarga mereka melalui pendidikan.

Tiga jam berlalu, Jalloro merapat ke dermaga. Tiga lembar uang Rp100.000 dan satu lembar Rp50.000 dia serahkan kepada juru mudi. Mahal memang. Sebab, kapal perintis ongkosnya jauh lebih murah. Cuma Rp100 ribuan. Sayangnya, jadwal kapal perintis masih terbatas dan tidak selalu tersedia setiap hari.

Terik matahari pukul tiga sore menyambut Rismawati di Balangcaddi. Langkahnya mengarah pada sebuah rumah kecil yang berdiri di tengah pulau, rumah yang menjadi salah satu buah perjuangannya mengupayakan pendidikan di Balangcaddi.

Melompat jauh pada 2010 silam, Rismawati sumringah ketika berhasil menjadi guru pegawai negeri sipil (PNS). Kala itu juga dia pertama kali menjejakkan kaki di Balangcaddi sebagai guru SMP. Pilu bagi dia ketika mengetahui sekolah tempatnya bertugas tidak memiliki kepala sekolah dan hanya ada satu rombongan belajar (rombel) karena menyandang status sekolah satu atap (satap).

"Guru PNS di sekolah itu hanya dua orang, saya dan satu lagi guru senior yang terangkat pada 2009," tutur dia.

Dengan alasan satu rombel itu pula membuat 20 siswa SMP yang diajar Rismawati belum memiliki kelas. Mereka terpaksa menumpang dan berpindah dari kelas ke kelas milik SD untuk menjalani proses pembelajaran.

"Kemudian jika terpenuhi semua siswa SD, kita mengajarnya di jam sore hari. Jadi pada waktu itu kondisi murid juga masih sangat memprihatinkan. Bahkan ketika pagi hari, kami menjemput murid ke rumahnya, karena belum ada motivasi bersekolah," ujar dia.

Kondisi tempat Rismawati mengajar tak jauh berbeda dengan tempat tinggalnya. Sejak awal, dia tidak memiliki keluarga maupun kenalan di Balangcaddi. Sebab itu, dia terpaksa menumpang di rumah pemilik kapal, rumah sakit, hingga rumah salah satu pemuka agama setempat sebagai tempat bernaung sementara.

Barulah tiga tahun kemudian, Rismawati mampu membeli sebuah rumah kecil tak terpakai dari uang tunjangan sertifikasi. Warga yang iba turut memberikan sumbangan, hingga akhirnya rumah kecil itu disulap menjadi tempat tinggal yang layak.

"Lalu pada 2011 kami dapat tambahan 10 guru PNS, namun tidak ada rumah tinggal untuk mereka. Akhirnya saya ajak mereka tinggal di rumah saya sampai saat ini," kenang dia.

Pelan tapi pasti, kualitas pendidikan di SMP Balangcaddi mulai membaik berkat perjuangan Rismawati dan rekan-rekan guru lainnya. Dari awalnya tidak memiliki gedung, pemerintah daerah memberikan tiga bangunan baru sehingga banyak anak tertarik melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Dia juga memperjuangkan sekolah tersebut memperoleh Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN).

"Sampai saat ini, Alhamdulillah siswa sekolah kami sudah mulai bertambah. Anak didik kami juga sudah kami bawa ke tingkat kabupaten untuk mengikuti lomba-lomba," imbuh dia.

Nasib baik lainnya terjadi ketika 2021 lalu. Rismawati lulus dalam seleksi Guru Penggerak Angkatan III yang dibuka Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek). Menurut dia, menjadi Guru Penggerak memberikannya pola pikir baru sebagai seorang pendidik, salah satunya penerapan pembelajaran berdiferensiasi dengan mempertimbangkan bakat dan minat peserta didik, alih-alih hanya mengandalkan metode menghafal teori.

Rismawati tidak mau berubah seorang diri. Dia mencoba mengimbaskan hasil pendidikan Guru Penggerak kepada guru-guru lainnya, meski hal itu tidak mudah dilakukan. Tak jarang, dia diremehkan oleh guru-guru lainnya dan dianggap sok pintar. Namun, itu tidak membuat asanya surut.

"Saya terus berusaha mengembangkan rekan sejawat hingga kini ada lima Guru Penggerak di sana. Bahkan, kepala sekolah waktu itu tergerak untuk ikut Guru Penggerak Angkatan 9," ungkap Rismawati.

Akhir Desember 2023, Rismawati mengakhiri pengabdiannya di Balangcaddi. Berbekal kompetensi yang dia peroleh dari Guru Penggerak, perempuan paruh baya ini diangkat sebagai Pengawas SMP di Dinas Pendidikan Kabupaten Pangkep.

Kendati demikian, dia sesekali masih tetap harus berkunjung ke pulau-pulau kecil, sebab wilayah kerja Rismawati meliputi tiga sekolah di daratan dan tiga sekolah di kepulauan. Hanya saja, tak perlu lagi dia meninggalkan rumah berminggu-minggu.

KEYWORD :

Guru Penggerak Perahu Jalloro Kisah Inspiratif Kemdikbudristek




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :