Jum'at, 17/05/2024 23:04 WIB

Revisi UU ITE Menghadirkan Transaksi Digital yang Produktif dan Berkeadilan

Indonesia membutuhkan sebuah landasan hukum yang komprehensif dalam membangun kebijakan identitas dan perkembangan digital serta layanan sertifikasi elektronik lainnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman (kanan). (Foto: Jurnas.com)

Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono menyebutkan bahwa perubahan kedua atas UU 11 tahun 2008 tentang transaksi elektronik menjadi kebijakan besar untuk menghadirkan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif, berkeadilan, bermoral serta mengedepankan perlindungan kepentingan umum bagi masyarakat dan negara.

Pernyataan tersebut disampaikan Dave secara daring dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema Revisi UU ITE Disahkan, Upaya Perkuat Sistem Keamanan Transaksi Elektronik di Media Center, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (12/12).

“Indonesia membutuhkan sebuah landasan hukum yang komprehensif dalam membangun kebijakan identitas dan perkembangan digital serta layanan sertifikasi elektronik lainnya,” katanya.

Di sisi lain, lanjut Politikus Golkar ini, pengembangan sektor informatika, komunikasi dan sektor digital perlu terus dilakukan mengingat potensi kontribusi yang cepat dan masif dari sektor ini bagi kemajuan ekonomi Indonesia.

Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Habiburokhman menjelaskan, ada beberapa hal yang ditangkap olehnya terkait perubahan kedua UU ITE ini. Salah satunya soal transaksi digital.

“Hal ini penting, hal baru yang diperbaiki terus, karena kan ini kan kita mengikuti perkembangan zaman yang cepat sekali. Hukum itu kan harus transformatif, kita ini harus mengikuti gerak dinamika di masyarakat,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI ini.

Ketua Asosiasi Digital Trust Indonesia (ADTI), Marshall Pribadi menjelaskan, pihaknya sangat menyambut baik adanya perubahan kedua UU ITE ini. Dengan adanya perubahan tersebut, menurut dia, semua dokumen dalam bentuk elektronik dan bisa mejadi alat bukti yang sah.

“Tetapi juga ditambahkan keterangan di pasal 17, bahwa transaksi elektronik yang memiliki risiko yang tinggi bagi para pihak, wajib menggunakan tanda tangan elektronik yang diamankan dengan sertifikat elektronik,” terangnya.

Dia melanjutkan, tanda tangan elektronik (TTE) yang diamankan dengan sertifikat elektronik itu menggunakan teknologi hashing dan enkripsi menggunakan infrastruktur kunci publik, telah diatur dengan rinci dari UU ITE, PPPSTE hingga Permenkominfo tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik (PSrE), terdapat pengamanan mulai dari algoritma, prosedur, hardware dan software yang sangat rigid.

“Kominfo juga mengaudit setiap tahun, sehingga dokumen yang ditandatangani menggunakan TTE tersertifikasi, itu di enkripsi dengan privasi masing-masing signer, yang menjamin kalau ada perubahan satu titik, satu koma, akan ketahuan secara matematis,” paparnya.

Sementara itu, Ketua Tim Peliputan, Biro Hubungan Masyarakat, Kemenkominfo, M Taufiq Hidayat berpendapat senada. Perubahan kedua UU ini menurutnya, memberikan peluang bagi pemerintah untuk menjamin bahwa ekonomi digital itu dapat dikembangkan secara optimal.

“Hampir semua aktivitas digital kurun 3-5 tahun terakhir berkembangnya itu dari sektor ekonomi, perbankan, jasa dan sebagainya. Jadi ke depan, salah satu yang akan ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan pengaturan mengenai identitas digital,” katanya di tempat yang sama.

 

KEYWORD :

Warta DPR Komisi I Forum Legislasi UU ITE tanda tangan digital transaksi elektronik




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :