Minggu, 13/10/2024 14:14 WIB

Media China `Remehkan` Keparahan COVID-19

Media China `Remehkan` Keparahan COVID-19.

Pasien lanjut usia beristirahat di area yang ditutup untuk memberikan infus di sebuah rumah sakit di Beijing, 31 Desember 2022. (AP Photo/Ng Han Guan)

JAKARTA, Jurnas.com - Media pemerintah di China mengecilkan keparahan lonjakan infeksi COVID-19, saat ilmuan negara itu memberi penjelasan kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang telah mencari informasi terperinci tentang evolusi virus.

Badan global tersebut telah mengundang para ilmuwan China mempresentasikan data terperinci tentang pengurutan virus pada pertemuan kelompok penasehat teknis pada Selasa (3/1), dan telah meminta China untuk berbagi data tentang rawat inap, kematian, dan vaksinasi.

"WHO akan berkomunikasi nanti, mungkin pada jumpa pers hari Rabu," kata juru bicaranya setelah pertemuan. Juru bicara sebelumnya mengatakan WHO mengharapkan "diskusi terperinci" tentang varian yang beredar di China, dan secara global.

WHO telah mendesak pejabat kesehatan China untuk secara teratur membagikan informasi spesifik dan real-time tentang wabah tersebut.

Seorang pejabat Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih tidak mau mengomentari pertemuan Selasa, tetapi menggemakan seruan WHO untuk meminta informasi lebih lanjut.

"Pakar dan pejabat kesehatan masyarakat, termasuk di Amerika Serikat (AS), telah menjelaskan bahwa penting bagi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berbagi data urutan genomik epidemiologis dan virus yang lebih memadai dan transparan," kata pejabat itu.

"Ini untuk kepentingan RRC dan komunitas internasional dan sangat penting untuk mengidentifikasi setiap varian potensial," sambung dia.

Pergeseran China dari kebijakan "nol-COVID" menyusul protes yang mewakili pertunjukan pembangkangan publik terkuat selama satu dekade berkuasa dan bertepatan dengan pertumbuhan ekonomi paling lambat dalam hampir setengah abad.

Ketika virus menyebar tanpa terkendali, rumah duka melaporkan lonjakan permintaan untuk layanan mereka dan pakar kesehatan internasional memperkirakan setidaknya 1 juta kematian di China tahun ini.

Negeri Tirai Bambu itu melaporkan tiga kematian COVID-19 baru pada Senin (2/1). Dengan demikian, jumlah kematian resmi sejak pandemi di dimulai menjadi 5.253.

Di sisi lain pada Selasa, People`s Daily, surat kabar resmi Partai Komunis, mengutip para ahli China yang mengatakan penyakit yang disebabkan oleh virus itu relatif ringan bagi kebanyakan orang.

"Penyakit parah dan kritis menyumbang 3 persen hingga 4 persen dari pasien yang terinfeksi saat ini dirawat di rumah sakit yang ditunjuk di Beijing," kata Tong Zhaohui, wakil presiden Rumah Sakit Chaoyang Beijing, kepada surat kabar itu.

Kepala Rumah Sakit Tianfu China Barat Universitas Sichuan, Kang Yan mengatakan bahwa dalam tiga minggu terakhir 46 pasien telah dirawat di unit perawatan intensif, mewakili sekitar 1 persen dari infeksi bergejala.

Dua ilmuwan terkemuka dan anggota komite WHO mengatakan sebelum pertemuan mereka akan mencari "gambaran yang lebih realistis" tentang situasi di China. Mereka tidak berkomentar lebih lanjut setelah itu berakhir.

Tetapi beberapa ahli meragukan bahwa Beijing akan berterus terang. "Saya kira China tidak akan tulus dalam mengungkapkan informasi," kata Alfred Wu, profesor di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di National University of Singapore.

"Mereka lebih suka menyimpannya untuk diri mereka sendiri atau mereka akan mengatakan tidak ada yang terjadi, tidak ada yang baru. Perasaan saya sendiri adalah bahwa kita dapat berasumsi, tidak ada yang baru, tetapi masalahnya adalah masalah transparansi China selalu ada."

AS, Prancis, Italia, dan lainnya mengatakan mereka akan mewajibkan tes COVID-19 pada pelancong dari China. Pejabat kesehatan Uni Eropa akan bertemu pada Rabu untuk tanggapan yang terkoordinasi.

"Seperti yang telah kami katakan, AS menawarkan vaksin kepada China dan dukungan COVID-19 lainnya. China telah mengindikasikan secara terbuka bahwa mereka menghargai tawaran tersebut tetapi tidak membutuhkan dukungan tersebut. Kami terus mendukung tawaran kami," juru bicara Gedung Putih kata Dewan Keamanan Nasional.

China sendiri akan mulai mencabut kebijkan bagi pelancong yang masuk ke negara itu untuk melakukan karantina mulai 8 Januari. Namun, tes COVID-19 pra-keberangkatan masih diperlukan.

SUMBER: REUTERS

KEYWORD :

China Virus Corona Pembatasan COVID-19 Mutasi Virus WHO




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :