Sabtu, 13/12/2025 13:03 WIB

Pelayanan KB Pascapersalinan Belum Maksimal





Pelayanan KB Pascapersalinan Belum Maksimal.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo menghadiri Musyawarah Daerah Ikatan Penyuluh Keluarga Berencana (IPeKB) Provinsi Jawa Tengah di Hotel Quest Jalan Plampitan Semarang, Jumat (18/2).

JAKARTA, Jurnas.com - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencan Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo mengatakan, hanya sepertiga dari 4,8 juta ibu melahirkan setiap tahunnya yang langsung menggunakan KB pascapersalinan (KBPP).

Hal itu disampaikan saat menerima kunjungan pihak Johns Hopkins Program for International Education in Gynecology and Obstetrics (JHPIEGO) bersama Asosiasi Pendidikan Kebidanan Indonesia (AIPKIND) pada awal pekan kemarin.

"Jadi, kalau spacing erat dengan autis dan stunting sehingga dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia (SDM), KBPP menjadi sangat penting," kata Hasto.

Hasto menjelaskan, KBPP juga bisa menjadi solusi untuk menekan kebutuhan ber-KB yang belum terpenuhi (unmet need) yang selama dua tahun ini persentasenya naik dari 10 persen pada 2020 menjadi 18 persen pada 2022 ini.

Dia menambahkan, untuk mendapatkan akseptor KB sangat mudah jika melakukan pendekatan melalui KBPP lantaran secara psikologis ibu yang baru melahirkan tidak ingin langsung punya anak lagi.

"Di situ kita advokasi. 90 persen itu sudah melahirkan di Faskes. Kalau kita fikir sistematis kalau sekarang mau melahirkan apakah mau lagi pasti jawabnya tidak. Cuma sayangnya 100 persen yang tidak mau itu yang mau KB cuma 29 persen angkanya. Ini target market yang menarik dan strategis dan lokusnya jelas, kalau kita tidak bisa menangkap itu, ya, sayang," ungkap dia.

Pada kunjungan ini, JHPIEGO dan AIPKIND mendorong agar KBPP masuk mata kuliah di kurikulum Perguruan Tinggi pada program studi kebidanan. "Harapannya ketika kurikulum bisa terinstusionalisasi, sehingga akan mengurangi pelatihan-pelatihan yang melahirkan banyak bidan, namun tidak memiliki kapasitas dalam memberikan pelayanan KBPP," kata Tim Pelatih Advokasi JHPIEGO, Abdul Jabbar.

Jabbar menjelaskan, pihaknya telah membuat pusat pelatihan pelayanan KBPP di 12 Kabupaten prioritas yakni Kota Bandung, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bogor, kabupaten Brebes, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Batang, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Tegal.

Selanjutnya di Kabupaten Langkat, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Binjai serta Kabupaten Labuan Batu.

Menurutnya, pelayanan KBPP sangat klinis, sehingga harus dilakukan oleh bidan yang kompetensinya telah terakreditasi.

"Sehingga membantu daerah melakukan efisiensi anggaran daerah yang terbatas. Dengan adanya pusat pelatihan itu mempermudah kabupaten maupun OPDKB dan Dinkes untuk melakukan pelatihan karena di kabupaten misal Karawang bisa gunakan APBD sendiri dilaksanakan oleh RSUD," ujarnya.

Selanjutnya, JHPIEGO juga ingin membantu BKKBN di 12 kabupaten prioritas tersebut dengan membantu mengimplementasikan melalui kegiatan penguatan kapasitas bagi tenaga lini lapangan dengan harapan seluruh tenaga lini lapangan tersebut mendapat informasi terbaru mengenai pelayanan KBPP baik secara konsep maupun teori sehingga tidak ada kesalahan dalam memahami definisi operasional KBPP.

Harapan kedua mereka juga bisa mengedukasi kepada tim TPK nya di wilayah kerja dia. Sehingga karena kami terbatas dari waktu dan biaya, pembelajaran baik apa yg kita lakukan ini, apa yang jadi prioritas BKKBN bisa ditindaklanjuti dan dijadikan pembelajaran untuk kabupaten lain,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua AIPKIND Jumiarni Ilyas mengatakan pihaknya bersama JHPIEGO telah menghasilkan Modul Peran Bidan dalam Pendampingan Perempuan dan KBPP. Modul setebal 300 halaman itu dibagi menjadi empat bagian dengan judul pada bagian pertama yakni Konsep Kependudukan, KB, dan Evidence Based Practice Dalam pelayanan KB.

Pada modul ini lulusan profesi bidan diharapkan menguasai konsep kependudukan dan KB, sejarah, situasi dan kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan KB, konsep keluarga, ketahanan keluarga, pendewasaan dan perencanaan usia pernikahan, waktu dan jarak kehamilan yang sehat, serta perspektif Bidan dalam pelayanan KB.

"Pada modul kedua membahas mengenai klasifikasi metode kontrasepsi, dimana mahasiswa kebidanan diharapkan memahami dan dapat menjelaskan perbedaan dari berbagai jenis kontrasepsi, antara lain kontrasepsi sadar masa subur, amenorea laktasi, kondom laki-laki maupun wanita, tudung serviks, kontrasepsi pada kondisi khusus, tubektomi dan vasektomi," ucapnya.

Modul ketiga, sambung Jumiarni, membahas strategi komunikasi efektif meliputi KIE dan promosi kesehatan dalam pelayanan KB, teknik konseling menggunakan Alat Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) dan Strategi Konseling Berimbang KB Pasca Persalinan (SKB-KBPP) serta manajemen pelayanan KB.

"Terakhir pada modul keempat diberikan pembekalan pada peserta didik mengenai asuhan pascakeguguran dan aplikasi aasuhan kontrasepsi darurat," jelasnya.

Modul KB tersebut turut menyertakan capaian pembelajaran yang ingin dicapai, bahan kajian, metode pembelajaran, gambaran besar materi, metode evaluasi dan instrumen serta bahan bacaan.

Penyampaian materi dilakukan melalui kuliah interaktif, Small Group Discussion, Discovery Learning, tutorial dan praktik di kelas, laboratorium maupun klinik dengan menggunakan metode studi kasus, analisis jurnal, dan evidence based report dengan evaluasi penilaian teori UTS dan UAS, penugasan serta penilaian praktik.

KEYWORD :

KB Pascapersalinan BKKBN Hasto Wardoyo




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :