Jum'at, 26/04/2024 06:34 WIB

Proses Pengurusan Persetujuan Ekspor CPO Telah Sesuai Prosedur

Proses pengurusan persetujuan ekspor CPO telah sesuai prosedur.

Kelapa Sawit

JAKARTA, Jurnas.com - Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menghadirkan saksi untuk lima terdakwa dalam persidangan kasus dugaan korupsi terkait pengurusan Persetujuan Ekspor (PE) minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

Namun, saksi yang dihadirkan tak mampu membuktikan adanya manipulasi Domestic Market Obligation (DMO), kerugian negara dan justru memberikan kesaksian bahwa proses tersebut telah sesuai prosedur.

Seperti dikatakan Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Farid Amir. Ia menjelaskan perusahaan-perusahaan tersebut telah memenuhi DMO alias kewajiban pemenuhan bahan baku minyak goreng untuk kebutuhan dalam negeri, sehingga mendapatkan izin ekspor.

Praktisi hukum, Hotman Sitorus, mengatakan jika proses pengurusan PE CPO telah sesuai dengan prosedur, maka dugaan korupsi dalam pengurusan PE CPO tidak terpenuhi. Ia menjelaskan, dalam setiap pidana korupsi, setidaknya harus ada unsur; Pebuatan melawan hukum, Kerugian Keuangan Negara atau Kerugian Perekonomian Negara, dan Memperkaya diri sendiri atau orang lain.

“Tanpa ada pebuatan melawan hukum maka tidak ada korupsi. Tanpa ada kerugian keuangan negara juga tidak ada korupsi. Tanpa ada memperkaya diri sendiri atau orang lain juga tidak ada korupsi. Ketiga unsur haruslah diuraikan secara jelas dan terang dan kemudian dibuktikan di depan pengadilan,” jelas Hotmat melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi.

Jadi, lanjutnya, setelah mendengan kesaksian para saksi, bisa dikatakan ketiga unsur kabur. Tidak terdapat hubungan sebab akibat antara satu unsur dengan unsur lain. Tidak terdapat hubungan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa dengan kerugian keuangan negara.

"Sehingga, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian keuangan negara dengan memperkaya perusahaan," kata Hotman.

Hotman menjelaskan, unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang didakwakan adalah menggunakan dokumen yang dimanipulasi dalam pengurusan Persetujuan Ekspor (PE) melalui aplikasi INATRADE dalam kurun waktu 01 Februari 2022 s.d. 16 Maret 2022 (lebih kurang dua bulan).

"Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana mungkin para terdakwa dalam jabatan yang berbeda-beda ada yang sebagai Dirjen, sebagai General Affair, sebagai konsultan, sebagai Senior Manajer, Komisaris dari perusahaan yang berbeda-beda pula bertanggung jawab atas kebenaran data permohonan PE melalui aplikasi INATRADE ? Bukankah pemasukan data melalui aplikasi dilakukan oleh para data operator," kata Hotman.

Kemudian mengenai unsur yang kedua, yakni Kerugian Keuangan Negara atau Kerugian Perekonomian Negara. Dia menjelaskan, jika besarnya kerugian keuangan negara yang didakwa sebesar Rp 6.194.850.000.000 yang diatribusikan kepada tiga grup perusahaan dengan jumlah yang berbeda.

Besaran kerugian keuangan Negara yang merupakan total anggaran pengeluaran pemerintah dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang disalurkan kepada 20,5 juta keluarga yang masuk dalam Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT) dan Program keluarga Harapan serta 2,5 juta Pedagang kali lima yang berjualan makanan gorengan sebesar Rp. 100.000 perbulan diberikan selama 3 bulan untuk April, Mei, Juni dibayar dimuka pada bulan April 2022 sebesar Rp. 300,000,-

Meskipun pemberian BLT berdasarkan arahan Presiden tanggal 01 April 2022 yang ditindaklanjuti Menteri Sosial dengan Keputusan Menteri Sosial tanggal 7 April nomor : 54/HUK/2022 tentang Penyaluran Bantuan Program Sembako Periode Bulan April, Mei, Juni yang kemudian dengan petunjuk teknis dari Direktur Penanganan Fakir Miskin Nomor : 41/6/SK/HK.01/4/2022 dengan total anggaran BLT khusus minyak goreng sebesar Rp. 6.194.850.000.000,- namun demikian didalilkan sebagai kerugian keuangan negara.

“Dengan kata lain, kerugian keuangan negara muncul karena ada BLT. Tidak ada BLT maka tidak ada kerugian keuangan negara. Sehingga, jika tidak ada kerugian keuangan negara maka tidak ada korupsi. Kalau memang BLT adalah kerugian keuangan negara mengapa pemerintah menyalurkan BLT,” kata Hotman.

Di samping kerugian keuangan Negara, Jaksa mendalilkan juga kerugian perekonomian negara sebesar Rp. 12.312.053.298.925 yang juga diatribusi kepada tiga grup perusahaan dengan jumlah yang berbeda yang merupakan hasil kajian dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada tanggal 15 Juli 2022 yang dihitung selama periode 15 Februari s.d. 30 Maret 2022.

“Pertanyaannya adalah sejauh mana validitas hasil kajian ini. Menarik untuk diuji di pengadilan, sebelum dijadikan referensi untuk menentukan kerugian perekonomian negara,” katanya.

Selanjutnya yang ketiga, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain. Hal ini terlihat para Terdakwa tidak memperkaya diri sendiri. Tetapi jika ada yang diperkaya adalah perusahaan dalam bentuk keuntungan sebagai akibat tidak menyalurkan kewajiban DMO.

"Ini bisa gampang dilihat dilaporan keuangan perusahaan, apakah benar mereka diperkaya," tanya Hotman.

Gonta-Ganti Kebijakan

Pemerintah kerap gonta-ganti kebijakan untuk menyelesaikan persoalan minyak goreng. Mulai dari kebijakan memberikan subsidi, DMO, domestic price obligation (DPO), larangan ekspor minyak sawit (CPO) dan turunannya hingga kembali menerapkan kebijakan DMO. Dari semua kebijakan itu, belum ada yang ampuh menekan harga minyak goreng baik curah maupun dalam kemasan.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, meski pemerintah mengintervensi masalah minyak goreng ini lewat program MGCR dan subsidi, jika rantai distribusi tidak diperbaiki dan tetap diserahkan ke mekanisme pasar, maka kebijakan itu tidak efektif menekan harga. Intervensi yang dilakukan pemerintah justru membuat para pedagang enggan menjual minyak goreng curah di pasar tradisional karena takut ditangkap Satgas Pangan yang bertugas mengawasi jalur distribusi minyak goreng.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung mengatakan, gonta-ganti kebijakan mengenai DMO dan DPO menghambat dan mengurangi daya saing indutri kelapa sawit.

Tungkot menjelaskan, kebijakan DMO dan DPO, yang sering menimbulkan masalah. Apalagi gonta-ganti kebijakan justru menimbulkan berbagai persoalan.

Kata Tungkot, DMP dan DPO mirip kebijakan jaman jahiliah, selain berisiko mekanisme ini juga sulit dijalankan. Selain itu, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO akan menimbulkan ketidak pastian berusaha karena berpijak diluar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya.

Selain menimbulkan ketidakpastian berusaha, lanjutnya, gonta-ganti kebijakan, juga membuat resiko rawan akan pelanggaran.

"Yang benar dalam kebijakan yang lalu bisa menjadi salah di kebijakan berikutnya. Itulah, maka pengusaha menjadi korban dalam kebijakan tersebut. Kita hormati proses hukumnya, kedepan jangan sampai gonta-ganti kebijakan membawa korban," tegasnya.

KEYWORD :

Persetujuan Ekspor CPO Kelapa Sawit Minyak Goreng




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :