Jum'at, 19/04/2024 20:48 WIB

Anggota DPR Minta Pemerintah Buat Kebijakan Terintegrasi Selamatkan Petani Sawit

Pemerintah harus membuat kebijakan yang terintegrasi, terkait satu sama lain, agar tidak ada pihak yang dirugikan atas pemberlakuan sebuah kebijakan.

Wakil Ketua Fraksi PKS, Mulyanto. (Foto: Parlementaria)

Jakarta, Jurnas.com - Kebijakan pemerintah melarang ekspor CPO dan turunannya harusnya diikuti dengan kebijakan pembelian tandan buah segar (TBS) sawit oleh pemerintah melalui BUMN dan lembaga terkait.

Anggota Komisi VII DPR Mulyanto menegaskan, hal ini perlu dilakukan agar hasil panen petani sawit rakyat tetap tersalurkan ke industri yang membutuhan. Sehingga harga jual TBS tetap terjaga.

“Pemerintah harus membuat kebijakan yang terintegrasi, terkait satu sama lain, agar tidak ada pihak yang dirugikan atas pemberlakuan sebuah kebijakan,” kata dia kepada wartawan, Rabu (18/5).

Terkait pembelian TBS sawit oleh pemerintah hal ini sangat dimungkinkan. Karena saat ini pemerintah sedang gencar memproduksi biofuel. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak membeli hasil panen sawit rakyat.

"Mereka sudah tidak tahan lagi menanggung beban atas anjloknya harga TBS sejak Presiden Jokowi mengumumkan pelarangan ekspor CPO dan turunannya pada 22 April 2022 lalu,” kata Mulyanto.

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini menilai, pemerintah memang menghadapi  kondisi yang dilematis. Namun demikian, ia berharap pemerintah tidak takluk terhadap mafia migor dan pengusaha nakal lalu tunduk mencabut kebijakan larangan ekspor CPO tersebut. Yang diperlukan saat ini adalah kebijakan agar petani sawit rakyat tidak menjadi korban.

"Pemerintah jangan plin-plan dan mencla-mencle dengan kebijakan larangan ekspor CPO ini. Harga migor (minyak goreng) curah masih bertengger di angka Rp. 19.100 per kg (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional 17/5). Jauh di atas HET yang sebesar Rp. 15.500 per kg," ungkap Mulyanto.

Oleh karena itu, Mulyanto mendesak pemerintah segera menolong nasib para petani sawit rakyat dengan memberikan insentif. “Pemerintah juga harus bertanggung-jawab atas kebijakan yang diputuskannya terutama kepada pihak yang paling rentan terdampak. Apalagi pandemi belum berakhir dan daya beli mereka masih lemah,” terangnya.

Menurut Mulyanto, insentif penting untuk meringankan petani sawit rakyat adalah dengan menyerap produk TBS tersebut dengan harga yang wajar. “Misalnya dengan membeli dan mengolah biofuel yang bersifat mandatori dari sawit rakyat serta insentif pupuk,” imbuhnya.

Selain itu BUMN Perkebunan dan anak perusahaannya yang mengolah hasil perkebunan harus didorong Pemerintah untuk meningkatan serapan produk TBS petani sawit rakyat tersebut.

“Langkah ini akan cukup membantu para petani sawit rakyat selama masa pelarangan ekspor CPO,” demikian Mulyanto.

Untuk diketahui dari data Kementerian Pertanian, pada tahun 2019 luas lahan sawit rakyat sebesar 5.9 juta hektar atau sekitar 41 persen dari luas total lahan sawit nasional. Lahan BUMN hanya sebesar 4 persen.  Sisanya sebesar 55 persen adalah lahan sawit dari swasta besar.  Dengan kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya, maka proporsi sawit rakyat yang terdampak cukup besar.

Diinformasikan, menyusul kebijakan larangan ekspor CPO dan seluruh turunannya dari Presiden Jokowi diumumkan (22/4), harga TBS kelapa sawit dari petani rakyat langsung anjlok.  Harga TBS petani hari ini hanya mencapai  Rp.1.200 per kg.  Apalagi untuk TBS dari petani yang non-kemitraan.  Jauh dari sebelumnya dimana buah sawit petani dihargai Rp 3.600 sampai Rp4.000/Kg.

 

 

KEYWORD :

Warta DPR Komisi VII Mulyanto PKS kelapa sawit petani larangan ekspor CPO




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :