Jum'at, 26/04/2024 04:55 WIB

Korupsi Bakamla, PT Merial Esa Divonis Bayar Uang Pengganti Rp126 Miliar

Majelis Hakim menilai PT Merial Esa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi dalam pengadaan

Logo KPK

Jakarta, Jurnas.com – Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis PT Merial Esa dengan denda Rp200 juta ditambah harus membayar uang pengganti Rp126 miliar.

Majelis Hakim menilai PT Merial Esa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi dalam pengadaan "monitoring satellite" dan "drone" di Bakamla tahun 2016.

"Menyatakan terdakwa PT Merial Esa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama menjatuhkan pidana pokok terhadap terdakwa PT Merial Esa berupa pidana denda sebesar Rp200 juta," kata Ketua Majelis Hakim Tipikor Jakarta Surachmat, Selasa (19/4).

Duduk di kursi terdakwa mewakili PT Merial Esa adalah Fahmi Darmawansyah selaku Dikretur PT Merial Esa yang juga sudah divonis 2 tahun dan 8 bulan dalam perkara yang sama pada 2017 lalu.

"Menghukum PT Merial Esa dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada negara sebesar Rp126,135 miliar dikompensasi dengan memperhitungkan uang yang telah disita sebesar Rp92.974.837.246, Rp22,5 miliar dan 800 ribu dolar AS, yang kelebihannya agar dikembalikan kepada terdakwa," tambah hakim.

Apabila terpidana tidak membayar pidana pokok satu bulan setelah putusan inkrah dan dengan alasan kuat diperpanjang selama 1 bulan, maka harta benda akan disita dan dilelang untuk menutupinya.

PT Merial Esa terbukti melakukan pidana sebagaimana dakwaan pertama dari Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Hakim juga tidak menjatuhkan pidana tambahan kepada PT Merial Esa berupa penutupan seluruh perusahaan selama 1 tahun sebagaimana tuntutan JPU KPK.

Sebelumnya, PT Merial Esa memiliki dua dakwaan. Pertama, perusahaan bersama-sama dengan Fahmi Darmawansyah dengan dua pegawainya, yaitu Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus serta Managing Director PT Rohde & Schwarz Indonesia Erwin Sya’af Arief memberikan gratifikasi untuk kepada beberapa orang memuluskan proyek tersebut.

“Yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu yaitu beberapa kali memberi uang secara bertahap yang seluruhnya sebesar USD999.980, USD88,500, €10.000, dan Rp64,12 miliar,” tulis surat dakwaan.

Duit tersebut, diberikan kepada Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I DPR periode 2014-2019 sebesar USD911.480 dan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi selaku Narasumber Bidang Perencanaan dan Anggaran Bakamla Rp64 miliar.

Lalu untuk Eko Susilo Hadi sebagai Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama Bakamla yang merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla dan Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Bakamla tahun anggaran 2016 SGD100,000, USD88,500, serta €10.000.

Kemudian kepada Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama Bakamla Bambang Udoyo sebesar SGD105.000, Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan SGD104.500, dan Kasubag TU Sestama Bakamla Tri Nanda Wicaksono Rp120 juta.

Pemberian kepada Fayakhun dan Ali Fahmi dilakukan karena telah mengupayakan alokasi (plotting) penambahan anggaran Bakamla untuk proyek pengadaan monitoring satelitte dan drone dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016.

Sedangkan untuk Eko Susilo, Bambang Udoyo, Nofel Hasan, dan Tri Nanda karena telah memenangkan perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh terdakwa yaitu PT Melati Technofo Indonesia dalam pengadaan.

Ini menurut jaksa bertentangan dengan kewajiban Fayakhun, Eko Susilo, dan Bambang Udoyo  selaku penyelenggara negara yang bebas dari KKN dan pengadaan barang/jasa.

“Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana,” tulis surat dakwaan.

Sementara, dakwaan kedua hampir sama dengan yang pertama. Suap diberikan sebagai imbalan memuluskan proyek.

Gratifikasi karena Bambang Udoyo menandatangani surat perjanjian antara Bakamla dengan PT Melati Technofo Indonesia untuk pengadaan monitoring satelitte pada APBN-P TA 2016.

Sedangkan Nofel Hasan menyusun penganggaran pengadaan monitoring satelitte. Lalu, Tri Nanda Wicaksono dalam jabatannya sebagai Kasubag TU Sestama Bakamla atau setidak-tidaknya menurut anggapan terdakwa pemberian tersebut melekat dengan jabatannya terkait pengadaan.

“Perbuatan Terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 13 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana,” terang surat dakwaan.

KEYWORD :

KPK PT Merial Esa Korupsi Oengadaan Satelit Bakamla Divonis




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :