Kamis, 25/04/2024 20:37 WIB

Wanita Kuwait Geram Dibatasi Bergabung dengan Tentara

Aktivis mengecam kebijakan itu sebagai satu langkah maju, dua langkah mundur.

Militer Kuwait memutuskan perempuan memerlukan izin dari wali laki-laki untuk mendaftar dan dilarang membawa senjata. (Foto: AFP/Yasser Al-Zayyat)

KOTA KUWAIT, Jurnas.com - Wanita Kuwait marah setelah militer, mengizinkan tentara wanita dalam perang tempur, tetapi memutuskan bahwa mereka memerlukan izin dari wali laki-laki dan melarang mereka membawa sejanta.

Aktivis mengecam kebijakan itu sebagai satu langkah maju, dua langkah mundur setelah Kementerian Pertahanan (Kemhan) Kuwait juga memutuskan wanita di angkatan bersenjata, tidak seperti warga sipil, harus mengenakan penutup kepala.

Langkah tersebut memicu reaksi di Kuwait, yang biasanya dianggap sebagai salah satu masyarakat paling terbuka di Teluk.

"Saya tidak tahu mengapa ada batasan untuk bergabung dengan tentara," kata Ghadeer al-Khashti, guru olahraga dan anggota komite wanita Asosiasi Sepak Bola Kuwait, kepada AFP.

"Kami memiliki semua jenis wanita yang bekerja di semua bidang, termasuk kepolisian," sambungnya.

Ia mengatakan, ibunya telah membantu perlawanan ketika diktator Irak Saddam Hussein pada 1990 menginvasi Kuwait dan mendudukinya selama tujuh bulan sebelum diusir oleh koalisi internasional yang dipimpin AS.

"Ibuku selama invasi Irak biasa menyembunyikan senjata di bawah abayanya dan membawanya ke anggota perlawanan Kuwait, dan ayahku mendorongnya," kata Khashti.

"Saya tidak mengerti atas dasar apa mereka melihat perempuan sebagai lemah."

Kemhan Kuwait memutuskan pada Oktober mengizinkan wanita dalam peran tempur tetapi kemudian memberlakukan pembatasan setelah menteri pertahanan diinterogasi anggota parlemen konservatif Hamdan al-Azmi.

Azmi, yang didorong fatwa agama Islam, berpendapat bahwa memiliki wanita dalam peran tempur tidak sesuai dengan kodrat perempuan.

Kepala Masyarakat Budaya dan Sosial Wanita Kuwait, Lulwa Saleh al-Mulla mengatakan pembatasan Kamhan itu diskriminatif dan inkonstitusional dan menjanjikan tindakan hukum oleh organisasi tersebut.

"Kami memiliki wanita martir yang membela negara mereka atas kemauan mereka sendiri," katanya kepada AFP. "Tidak ada yang memerintahkan mereka untuk melakukan itu selain cinta untuk negara mereka.

"Kami adalah negara Muslim, itu benar, tetapi kami menuntut hukum tidak tunduk pada fatwa. Kebebasan pribadi dijamin dalam konstitusi, yang menjadi dasar hukum negara."

Wanita Kuwait mendapatkan hak untuk memilih pada tahun 2005 dan telah aktif baik di kabinet maupun parlemen, meskipun mereka kurang terwakili di keduanya.

Tidak seperti kebanyakan negara Teluk, Kuwait dikenal memiliki panggung politik yang aktif, dengan anggota parlemen secara teratur menantang pihak berwenang.

Awal bulan ini, puluhan wanita Kuwait melakukan protes terhadap penangguhan retret yoga wanita yang dianggap tidak senonoh oleh kaum konservatif.

Salah satunya adalah Azmi yang membuat kicauan di Twitter, mengecam retret itu sebagai berbahaya dan asing bagi masyarakat konservatif di sana.

Para pengunjuk rasa wanita membawa plakat yang mengecam eksploitasi masalah perempuan dalam politik, serta rezim fatwa dan perwalian terhadap wanita.

Perdebatan tentang aturan baru tentara untuk perempuan telah menjadi tidak rasional, kata Ibtihal al-Khatib, seorang profesor bahasa Inggris di Universitas Kuwait.

"Tentara perlu mengintegrasikan perempuan dan laki-laki tanpa diskriminasi," kata akademisi feminis itu kepada AFP. "Bahaya tidak membedakan antara pria dan wanita, dan kematian juga tidak selama pertempuran."

Sumber: AFP

KEYWORD :

wanita Kuwait Negara Teluk Timur Tengah tentara




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :